Subha Asubha KarmaPada dasarnya sesuai dengan
siklus “rwabhineda” perbuatan manusia dapat ditinjau dan dua
sisi/dimensi yang berbeda, yaitu antara perbuatan yang baik (subha
karma) dan perbuatan yang tidak baik/buruk (asubha karma).
Perputaran/siklus subha dan aszibha karma ini selalu saling bertautan
dan silih berganti satu sama lainnya dan tidak dapat dipisahkan.
Demikianlah
sikap dan prilaku manusia selama hidupnya berada pada dua jalur yang
berbeda itu, sehingga patut dengan kesadaran budhi nuraninya (manusia)
harus dapat menggunakan kemampuan berpikirnya kearah yang lebih baik dan
benar. Apabila manusia sebagai makhluk berpikir (punya manah) mau dan
mampu mengarahkan pikirannya ke arah yang baik akan mengakibatkan ucapan
dan perilakunya menjadi baik (subha karma).
Sebaliknya apabila
tidak mampu mengarahkan pikiran (mengendalikannya) kearah yang baik, hal
inilah mengakibatkan manusia berucap dan berbuat yang buruk (asubha
karma)
Sebagai manusia dengan kekiiatan idep/manah ini harus dengan
cermat dapat memilah dan memilih perbuatan baik sehingga tidak
terjerembab dalam perbuatan buruk. Dalam Sarasamuscaya ditegaskan bahwa
hakekat penjelmaan sebagai manusia adalah untuk
rneningkatkan/menyempurnakan diri dari perbuatan buruk (asuba karma)
menjadi perbuatan baik (subha karma).
“manusah sarwabhutesu, vartate vai subhasubhe
asubhesu samavistam, subhesveva văkărayet”
(Sarasamuscaya, 2).
Artinya:
Di
antara semua makhluk hidup hanya yang dilahirkan sebagai manusia
sajalah yang dapat berbuat baik ataupun buruk, Leburlah ke dalam
perbuatan baik segala perbuatan buruk itu; Demikianlah gunanya
(pahalanya) menjadi manusia.
Apa yang diuraikan dan dijelaskan
pada sloka tersebut di atas adalah tugas utama atau hakekat penjelmaan
sebagai manusia, untuk melebur perbuatan buruk (asubha karma) menjadi
perbuatan baik (subha karma).
Hanya dengan berbuat baiklah
manusia menunjukkan eksistensinya sebagai makhluk yang utama,
sebagaimana disuratkan dalam Sarasamuscaya 4 sebagai berikut:
Apan iking dadi wwang uttama juga ya,
nimittaning mangkana wenang ya
tumulung awaknya sakeng sangsara,
makasadhanang subha karma,
hinganing kottamaning dadi wwang ika
Maksudnya:
Menjelma
menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama, sebabnya demikian
karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati
berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikianlah
keutamaan/keuntungan dapat menjelma menjadi manusia.
Lantas
bagaimana halnya bila seseorang tidak mau melaksanakan perbuatan baik?
Orang yang demikian itu dianggap (bagaikan) orang sakit (penyakit) yang
menjadi obat neraka loka dan apabila meninggal dunia, maka ia dianggap
sebagai orang sakit yang pergi ke suatu tempat dimana tidak ada
obat-obatan yang mengakibatkan selalu dalam penderitaan yang membara.
Oleh karena itu usahakanlah selalu secepatnya berbuat yang baik (subha karma).
Tri Kaya Parisudha
Tri
Kaya Parisudha yang menjadi konsentrasi pembahasan kali ini adalah
merupakan salah satu aplikasi dan perbuatan baik (subha karma). Secara
etimologi Tri Kaya Parisudha (bahasa Sanskerta) dari kata Tri berarti
tiga, Kaya berarti perbuatan/prilaku dan Parisudha berarti (amat)
disucikan. Adapun rinciannya (Tri Kaya Parisudha) terdiri dari:
a. Manacika, yaitu berpikir yang bersih dan suci.
b. Wacika, yaitu berkata yang baik, sopan dan benar
c. Kayika, yaitu berbuat yang jujur, baik dan benar.
Secara
hirarki bermula dan pikiran yang baik dan benarlah akan mengalir ucapan
dan perbuatan yang baik dan benar pula. Jadi kuncinya adalah pada
pikiran, yang dalam pepatah sama dengan “dan telaga yang jernihlah
mengalir air yang jernih pula”. Kalau pikirannya kacau, apalagi
memikirkan yang macam-macam dan bukan-bukan niscaya perkataan dan
perbuatannyapun akan amburadul yang bermuara pada kehancuran dan
penderitaan.
Dari Tri Kaya Parisudha ini timbul adanya sepuluh
pengendalian diri yang disebut karmapatha, sesuai dengan apa yang
tesurat dan tersirat dalam Sarasamuscaya, 73 sebagai berikut:
“Hana karmapatha ngaranya, khrtaning indrya,
sapuluh kwehnya, ulakêna, kramanya : prawerttiyaning manah sakarêng,
têlu kwehnya, ulahaning wâk pât pwarttiyaning kâya, tělu pinda sapuluh,
prawerttyaning kaya, wak, manah ken geta”.
Maksudnya:
Adalah
karma patha namanya, yaitu pengendalian hawa nafsu, sepuluh banyaknya
yang patut dilaksanakan; gerak pikiran tiga banyaknya, ucapan/perkataan
empat (4) jumlahnya, gerak tindakan/laksana tiga (3) banyaknya. Jadi
sepuluh (10) jumlahnya perbuatan yang timbul dari gerakan badan,
perkataan, dan pikiran itulah patut diperhatikan.
Lebih lanjut diuraikan Tri Kaya Parisudha itu sebagai berikut:
1. Manacika (pikiran yang bersih dan suci) antara lain:
tidak ingin dan dengki pada milik orang lain (si tan engin adengkya ri drbyaning len)
tidak bersikap gemas (marah), kasar kepada semua makhluk (si tan krodha ring sarwa sattwa).
percaya akan kebenaran ajaran karmaphala (si mamituha ni hananing karmaphala).
2. Wacika (ucapan/perkataan yang baik, jujur dan benar) antara lain, hindarilah:
- Perkataan jahat, menyakitkan, kotor (ujar ahala).
- Perkataan keras, menghardik, kasar (ujar aprgas)
- Perkataan memfitnah (ujar pisuna)
- Perkataan bohong (ujar mithya)
3. Kayika (perbuatan bait, jujur dan benar) yaitu:
- Tidak menyiksa dan membunuh (syamati-mati)
- Tidak mencuri (mangahalalhalal)
- Tidak berbuat zina (si paradara).
Ketiga
prihal tersebut di atas hendaknya jangan dilakukan baik dalam bersenda
gurau, berolok-olok, keadaan darurat maupun dalam keadaan dirundung
malang sekalipun. Dalam sloka 77 dipertegas bahwa ketiga hal itu
(berpikir, berkata, dan berbuat) membuat orang dikenal dan akan sangat
menarik perhatian orang untuk mengetahui kepribadian seseorang. Oleh
karena itu hendaklah yang baik itu selalu dibiasakan dalam laksana,
perkataan dan pikiran. Dari ketiga kaya (prilaku) baik dan benar
tersebut di atas yang menjadi fokus pembahasan kita kali ini adalah
wacika (ucapan) berikut sumber/alat yang mengucapkan.
Fungsi Mulut/Ucapan dalam Segala Aspek Kehidupan
Terkait
dengan mulut terdapat beberapa ungkápan “miring” seperti “Besar mulut”.
“Keluar dari mulut harimau masuk ke dalam mulut singa”. Pada mulut kita
terdapat komponen yang sangat menentukan ucapan/kata-kata yakni lidah.
Dalam panca budhindrya disebut “Jihvendrya” yang mempunyai fungsi ganda
yaitu di satu sisi lidah sebagai indra pengecap dan di sisi lain lidah
(mulut) berfungsi mengeluarkan kata-kata / ucapan.
Dalam
kehidupan sehari-hari tanpa mulut orang tidak dapat makan dan minum
secara kodrati/alami. Bila tidak makan dan minum mungkinkah orang dapat
hidup? Walaupun dalam dunia kedokteran dikenal alat/sarana berupa infus,
karena sebagai sarana fungsinya hanyalah membantu yang sifatnya
sementara waktu saja. Di samping itu apa jadinya dan bagaimana rupa
orang tanpa mulut?
Selanjutnya manusia disamping sebagai makhluk
individu, juga sebagai makhluk sosial, yang selalu berinteraksi dan
berkomunikasi dengan orang lain, sehubungan dengan berkomunikasi inilah
peranan dan fungsi mulut/ucapan memegang peranan yang amat penting.
Dalam segala aspek kehidupan baik menyangkut bidang ekonomi, sosial,
budaya, agama, politik maupun pertahanan dan keamanan.
Mari kita cermati contoh-contoh nyata ke semua aspek tersebut di atas secara sederhana saja.
Dalam
bidang ekonomi betapa pentingnya negosiasi-negosiasi dalam ucapan atau
pembahasan dialog-dialog yang memecahkan permasalahan ekonomi. Bahkan
dalam hal yang sangat sederhana, walaupun kita, membawa uang atau punya
uang tanpa kita ngomong/berucap “saya mau beli sesuatu? Apakah kita
diberikan sesuatu itu oleh penjualnya?
Dalam bidang sosial
kemasyarakatan tentunya lebih penting lagi peranan mulut/ucapan itu.
Orang bersengketa/berselisih bisa didamaikan dengan berdialog yang
tentunya dilandasi dengan hati dingin dengan semangat kebersamaan dan
kekeluargaan (paras-paros, asah-asih-asuh, selunglung sabayantaka).
Dalam
budaya peranan ucapan sangat penting lebih-lebih menyang ku seni dan
sastra dan bahasa. Dengan kekuatan seni sastra dan budaya akan mampu
membuat seseorang terinspirasi, termotivasi serta tunduk dengan penintah
seseorang.
Bung Karno dengan kemampuan oratornya bisa
membangkitkan semangat bangsa Indonesia. Para Maha Rsi dengan
sutra-sutranya dan ucapan/warah-warahnya menyebabkan para sisya-nya
tunduk dan bhakti serta melaksanakan segala perintah/ajarannya. Hal
tersebut di atas (ajaran para Rsi) jelas sebagai sumber ajaran agama
yang sangat penting dalam menuntun dan mengarahkan hidup dan kehidupan
ini.
Dalam dunia politik termasuk keamanan dan pertahanan sangat
dominan dialog-dialog itu dilaksanakan dalam memecahkan segala
persoalan. Sehingga nyambung dengan pepatah “Bulatnya air dalam
pembuluh, bulatnya kata dalam mufakat”. Disini perlu adanya musyawarah
dalam mencapai kata mufakat. Dalam musyawarah perlu adanya keluwesan,
saling mengalah dan tidak bersikukuh pada ego masing-masing (jaja uli
jaja gina satuh-satuh).
Satu hal yang perlu diperhatikan dan
diingat bahwasanya sesuai dengan sirkulasi rwabhineda mulut/ucapan itu
disamping menyebabkan kebaikan (kerahayuan) bisa jadi mengakibatkan
keburukan/bencana (malapetaka). Hal ini disuratkan dalam kakawin
Nitisastra V.3, sebagai berikut:
Wasita minittanta manêmu laksmi
Wasita minittanta pati kapangguh
Wasita minittanta manému dukha
Wasita minittanta menemu mitra.
Maksudnya :
Oleh
perbuatan/ucapan engkau akan mendapatkan bahagia, oleh perkataan/ucapan
engkau mendapatkan kematian/kehancuran, oleh perkataan/ucapan engkau
mendapatkan kesusahan/kesedihan, oleh perkataan/ucapan engkau
mendapatkan sahabat/kawan.
Dan penjelasan isi kakawin tersebut
di atas dengan gamblang kita dapat menyimak akibat baik buruk dan
ucapan/perkataan itu sendiri. Oleh karena itu Sri Wiwikananda pernah
berkata : “Bila kita bercermin kita melihat gambaran/bayangan wajah kita
bermata dua, telinga juga dua, lubang hidung juga dua, akan tetapi
mulut cuma satu saja! Apa makna dibalik hal tersebut?
Bukanlah
yang dimaksudkan bahwa, kita boleh banyak melihat, banyak mendengar
termasuk banyak mencium atau menikmati sesuatu, akan tetapi harus
berhati-hati dalam berucap. Sebab salah ucap akan berdampak kehancuran
atau mala petaka.
Siapapun salah menyampaikan sesuatu
lebih-lebih terhadap ajaran termasuk mata pelajaran/bidang studi akan
berakibat fatal bagi siswa yang menerimanya.
Demikian sebaliknya
barang siapa dapat mengajarkan atau memberikan tuntunan yang baik
niscaya akan dapat mengangkat kualitas dan martabat seseorang yang
ditandai dengan sikap dan perilakunya di masyarakat.
Orang akan
selalu melihat dan menilai seseorang dan sikap dan perilakunya yang
tentunya diwarnai serta dilandasi oleh pola pikir dan ucapannya (“gajah
mati meninggalkan gadinnya, harimau mati meninggalkan belangnya “).
Oleh
karena itu marilah kita bersama-sama berusaha dengan sepenuh hati
(nekeng tuas) untuk mengontrol pikiran (manah), agar mengikuti kesadaran
budhi (mahat) sehingga akan mengalir menjadi ucapan yang baik dan
benar, serta merta diaplikasi/diwujud nyatakan dalam perbuatan (laksana)
yang tentunya akan bermanfaat baik bagi dirinya sendiri, keluarga,
masyarakat bangsa dan negara.
warah-warahnya menyebabkan para
sisya-nya tunduk dan bhakti serta melaksanakan segala perintah/
ajarannya. Hal tersebut di atas (ajaran para Rsi) jelas sebagai sumber
ajaran agama yang sangat penting dalam menuntun dan mengarahkan hidup
dan kehidupan ini.
Dalam dunia politik termasuk keamanan dan
pertahanan sangat dominan dialog-dialog itu dilaksanakan dalam
memecahkan segala persoalan. Sehingga nyambung dengan pepatah “Bulatnya
air dalam pembuluh, bulatnya kata dalam mufakat”. Disini perlu adanya
musyawarah dalam mencapai kata mufakat. Dalam musyawarah perlu adanya
keluwesan, saling mengalah dan tidak bersikukuh pada ego masing-masing
(jaja uli jaja gina satuh-satuh).
Satu hal yang perlu
diperhatikan dan diingat bahwasanya sesuai dengan sirkulasi rwabhineda
mulut/ucapan itu disamping menyebabkan kebaikan (keraha yuan) bisa jadi
mengakibatkan keburukan /bencana (malapetaka). Hal ini disuratkan dalam
kakawin Nitisastra V.3, sebagai berikut:
Wasita minittanta manêmu laksmi
Wasita minittanta pati kapangguh
Wasita minittanta manému dukha
Wasita minittanta menemu mitra.
Maksudnya :
Oleh
perbuatan/ucapan engkau akan mendapatkan bahagia, oleh perkataan/ucapan
engkau menda patkan kematian/kehancuran, oleh perkataan/ucapan engkau
mendapatkan kesusahan/kesedihan, oleh perkataan/ucapan engkau
mendapatkan sahabat/ kawan.
Dari penjelasan isi kakawin tersebut
di atas dengan gamblang kita dapat menyimak akibat baik buruk dan
ucapan/perkataan itu sendiri. Oleh karena itu Sri Wiwikananda pernah
berkata : “Bila kita bercermin kita melihat gambaran/bayangan wajah kita
bermata dua, telinga juga dua, lubang hidung juga dua, akan tetapi
mulut cuma satu saja! Apa makna dibalik hal tersebut?
Bukanlah
yang dimaksudkan bahwa, kita boleh banyak melihat, banyak mendengar
termasuk banyak mencium atau menikmati sesuatu, akan tetapi harus
berhati-hati dalam berucap. Sebab salah ucap akan berdampak kehancuran
atau mala petaka.
Siapapun salah menyampaikan sesuatu
lebih-lebih terhadap ajaran termasuk mata pelajaran/bidang studi akan
berakibat fatal bagi siswa yang menerimanya.
Demikian sebaliknya
barang siapa dapat mengajarkan atau memberikan tuntunan yang baik
niscaya akan dapat mengangkat kualitas dan martabat seseorang yang
ditandai dengan sikap dan perilakunya di masyarakat.
Orang akan
selalu melihat dan menilai seseorang dan sikap dan perilakunya yang
tentunya diwarnai serta dilandasi oleh pola pikir dan ucapannya (“gajah
mati meninggalkan gadingnya, harimau mati meninggalkan belangnya “).
Oleh
karena itu marilah kita bersama-sama berusaha dengan sepenuh hati
(nekeng tuas) untuk mengontrol pikiran (manah), agar mengikuti kesadaran
budhi (mahat) sehingga akan mengalir menjadi ucapan yang baik dan
benar, serta merta diaplikasi/diwujudnyatakan dalam perbuatan (laksana)
yang tentunya akan bermanfaat baik bagi dirinya sendiri, keluarga,
masyarakat bangsa dan negara.• WHD No. 475 Agustus 2006.
Sumber : http://www.parisada.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar