Powered By Blogger

Jumat, 11 November 2011

Pengendalian Diri, Etika dan Toleransi

Om Swastyastu
isa vasyam idam sarvam
yat kim ca jagatyam jagat
tena tyaktena bhunjita ma
grdhah kasya svid dhanam

Yajurveda XL.1
(Segala sesuatu yang bergerak dan tidak bergera di alam semesta ini meliputi  dan diresapi oleh Tuhan Yang Maha Esa. hendaknya seseorang mampu mengendalaikan dirinnya dan tidak menginginkan milik orang lain)

1. Pendahuluan
Pengendalian diri, etika dan toleransi merupakan pencerminan kehidupan beragama dengan kehidupan sesama baik manusia dalam lingkungan keluarga, masyarkat,  bangsa dan negara bahkan pula dalam hubungan international keluarga, masyarakat,  bangsa dan negara bahkan pula dalam hubungan international antar bangsa-bangsa.
Dengan pengendalian diri seseorang mampu hidup berdampingan secara rukun yang  tercermin dalam etika atau tata laku sopan santun dalam pergaulan hidup. Kerukuan  hidup akan semakin mantap bila dilandasi dengan toleransi atau penghargaan  terhadap perbedaan yang dihadapi, karena perbedaan itu seperti misalnya perbedaan  agama yang dianut merupakan kenyataan yang diyakini dan ajaran yang dikandungnya  diamalkan oleh pemeluknya.
Dengan pengendalian diri yang mantap, seseorang  yang tertib dalam berlalu lintas akan berhasil mencapai tujuan dengan selamat,  demikian pula dengan etika dan toleransi, seseorang akan mudah bergaul dengan  sesamanya walaupun berbeda agamanya, pandangan hidup akan dapat diwujudkan dan dengan  keharmonisan  ini ketentraman dan kebahagiaan hidup, baik dalam keluarga maupun masyarakat  dapat terealisasikan.
Agama Hindu dengan kandungan ajaran tentang pengendalian diri, etika toleransi  yang sangat berguna sebagai pedoman dalam membina hubungan yang harmonis tidak  hanya dengan sesama manusia, tetapi juga dengan Tuhan Yang Mahaesa dan semua  Makhluk ciptaan-Nya.
2. Pengendalian diri
Pengendalian diri adalah kemampuan seseorang untuk tidak melakukan yang tidak  baik dan tidak patut dilakukan. Untuk dapat mengendalikan diri, seseorang  hendaknya mengenal ajaran tentang Viveka atau Vivekajnana. Yang dimaksud dengan  Viveka adalah kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk, salah dan benar.
Yang baik belum tentu benar, sebaiknua yang benar belum tentu baik dan selanjutnya  yang dengan pengetahuan Viveka ini seseorang akan dapat mengendalikan dirinya,  sebab diantara berbagai makhluk hidup dengan tegas dinyatakan hanya manusialah  yang memiliki pengetahuan itu sebab, oleh karena itu menjelma sebagai manusia  disebut sebagai penjelmaan utama bila dibandingkan dengan makhluk lainya :
Manusah sarve bhutesu varttate
vai dubhasubhe asubhesu samavistam
subhesvevakarayet

Ri sakwehning sarva bhuta,  iking wwang juga wenangguma ikang sebha asubha  karma,  kunang panentasekena ring asubhakarma juga ikang subha karma, phala  ning dadi wwang
Sarasamnuccaya 2
(Di antara semua makhluk, yang hanya dilahirkan sebagai manusia sajalah yang  dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk. Leburlah ke dalam perbuatan  baik itu menjelma sebagai manusia.)
Di dalam kitab Sarasamuccaya dijelaskan pula bahwa menjelma sebagai manusia  adalah kesempatan yang utama dan sangat sulit untuk diperoleh (parama durlabha)  dan hidup sebagai manusia dinyakan sangat singkat (ksanikasvabhava) bagaikan  kerdipan kilat.
Memang bila direanungka, seseungguhnya manusia hampir sangat  jarang untuk merenungkan kembali, untuk apa tujuan penjelmaan kita ini, bagaimana  kita seharusnya berbuat di dunia ini, benarkah kita nanti, apakah yang akan  kita bahwa dan bagaimanakah kita alam sana dan lain-lain pernyataan akan muncul  bagi mereka yang memiliki kepekaan untuk merenungkan kehidupan kembali.
Untuk usaha, ajaran agama Hindu memberikan bimbingan dan tuntunan seseorang berhasil meniti kehidupan di dunia ini termasuk bagaimana dia berperilaku menyingkapi dan mensiasati kehidupan yang dewasa ini sangat dirasakan kecendrungan pada material atau pleasure oriented sebagai dinyatakan dalam kitab-kitab  Purana, bahwa era jaman Kali (Kaliyuga) orientasi manusia hanyalah pada materi  dan kesenangan, yang tidak akan memberikan kebahagiaan yang sejati.
Bila kita  hanya mengejar kepuasan materi atau kesenangan duniawi belaka (kepuasan kama),  maka penderitaanlah yang akan kita jumpai. Memuaskan Kama semata diibaratkan  menyiram api yang sedang berkobar tidak dengan air, melainkan dengan bensin  dan akibatnya adalah api semakin membesar yang mengakibatkan kehancuran. Agama  Hindu mengamanatkan untuk mewujudkan kedamaian dalam kehidupan ini (peace  oriented), karena di balik kedamaian yang sejati (true happines).
Kebahagiaan  yang sejati (Moksa) bukanlah  khayalan, melainkan kenyataan yang dapat dieujudkan  di dunia ini (melalui Samadhi) yang disebut dengan Jiwanmukti. untuk merealisasikan  dal ini banyak hal yang dilakukanm, terutama dapat mentransformasikan diri  kita, meninggalkan kualitas jasmani kita yang muaranya adalah sumber daya  manusia.
Sumber daya manusia (menurut pandangan Hindu ) tidak hanya menekankan  pada kualitas jasmani dan keterampilan atau kecerdasan pikiran, melaikan adalah  memupuk budi luhur sesuai dengan ajaran Dharma, yang nantinya akan mampu mengantisipasi  berbagai tantangan hidup dan mencapai tujuan yang tertinggi yakni bersatunya  Atman dengan Brahman yang disebut Moksa yang merupakan kebahagiaan sejati  dan abadi (Sukha dan tanpawali sukha) Sangat banyak kita jumpai ajaran agam Hindu penujuk tentang pengendalian  diri termasuk pula bagaimana menggunakan Viveka sehgingga kita mampu menyingkapi perkembanyan dunia ini.
Ajaran tentang pengendalian diri dan Viveka ini dapat  kita jumpai dalam kitab suci Veda, dalam berbagai kitab Upanisad, Ithiasa  dan Purana termasuk pula dalam berbagai kitab Dharmasastra dan Tantra seperti  Panca Tan Matra yang disusun oleh Visnu dan lain-lain.
3. Etika
Etika adalah bentuk pengendalian diri di dalam pergaulan hidup bersama.  Manusia adalah homo sosius, makhluk berteman. Ia tidak dapat hidup sendirian,  ia selalu bersama dengan orang lain. Manusia hanya dapat hidup dengan sebaik-baiknya  dan akan mempunyai arti, apabila ia hidup bersama-sama manusia yang lain di  dalam masyarakat. Tidak bergaul dengan sesama manusia lainya. Hanya dalam  hidup bersama manusia akan dapat berkembangan dengan wajar.
Hal ini merupakan  kenyataan yang tidak dapat dihindari, bahwa sejak manusia dilahirkan sampai  ia mati, selalu memerlukan bantuan orang lain untuk kesempurnaan hidupnya.  Bantuan itu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya, tetapi juga untuk  memenuhi kebutuhan rohaninya.
Manusia sangat memerlukan pengertian, kasih sayang , harga diri, pengakuan  dan tanggapan-tanggapan emosional yang sangat penting artinya bagi pergaulan  dan kelangsungan hidupnya yang sehat. Semua kebutuhannya itu merupakan kebutuhan  rohani hanya dapat ia perolah dalam hubungannya dengan manusia dalam masyarakat,  Inilah kodrat manusia sebagai makhluk sosial tidak ada seorangpun yang dapat  mengingkari hal ini karena bahwa manusia baru dapat disebut manusia dalam  hubungannya dengan orang lain dan bukan dalam kesendiriannya.
Dalam kehidupan bersama ini orang dapat mengatur untuk bertingkah laku yang  baik. Tidak seseorang yang boleh berbuat sekehendak hatinya. Ia harus menyesuaikan  diri dengan lingkungannya (dalam pengertian tidak boleh larut dalam lingkungannya  itu) dan tunduk atau patuh terhadap peraturan atau aturan yang berlaku dalam lingkunyanya ini masih dalam frame-frame yang berlaku.
Aturan atau peraturan untuk bertingkah laku yang baik dalam agama Hindu  disebut dengan “Sila” yang dalam bahasa Indonesia menjadi Tata Susila.  Nama lainya untuk istilah ini adalah Etika. Kata etiket artinya sopan santun  dalam pergaulan. Bila itikad beretika masih dalam angan-angan disebut dengan  Budi Luhur (Budi baik) dan bila diwujudkan dalam tungkah laku disebut pekerti  yang baik.
Bila kita mengamati dengan seksama tujuan dari atau tingkah laku yang baik  adalah untuk membina hubungan yang harmonis antar sesama manusia dan dalam  ajaran agama Hindu tidak hanya hubungan yang horisontal, tetapi juga vertical  hubungn antara manusia dengan Tuhan Yang Mahesa dan alam pencipta-Nya. Tata  susila dalam ajaran agama Hindu merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar  agama Hindu disamping Sradha dan Acara yang bersumber pada kitab suci Veda,  oleh karena itu tata Veda dengan susastra Hindu lainya.
Dalam hubungannya  dengan tingkah laku manusia, dapat dikaji dalam tiga tingkatan yaitu :
  • Tingkat pertama semasih dalam bentuk angan-angan niat atau idea
  • Tingkat kedua sesudah berbentuk pekerti, yakni perbuatan nya (telah dilaksankan)
  • Tingkat ketiga adalah akibat yang ditimbulkan oleh pekeri ini . Hasilnya  dapat baik atau buruk.
Selanjutnya isi dari angan-angan, niat atau idea itu direalisasikan dalam  4 jenis perbuatan (varaible), yaitu :
a. Tujuannya baik, tetapi cara penyampaianya tidak baik.
b. Tujuannya tidak baik, tetapi cara penyampainya baik
c. Tujuannya tidak baik, tetapi cara penyampainya tidak baik.
d. Tujuannya baik, tetapi cara penyampainya baik.
Semuanya yang disebut atau buruk kadang-kadang sulit untuk dirumuskan dalam kenyataannya ternyata manusia sesungguhnya mengerti atau memahami apa yang  disebut baik dan buruk. Berbohong atau mencuri adalah buruk dan tidak benar.  menolong, penuh kasih dan jujur adalah baik. Kesadaran terhadap baik dan buruk,  salah dan benar disebut Kesadaran Etis.
Namun perlu dipahami apa yang disebut  baik itu, tidak selalu benar dan apa yang disebut buruk itu tidaklah selalu  salah. Untuk menentukan mengukur atau membesakan baik, buruk salah dan benar,  agama Hindu mengajarkan umatnya untuk berpedoman kepada beberapa pramana atau  ukuran , antara lain :
  • Desa (tempat), Kala(waktu) dan Patra (keadaan) dan dalam Manavadharmasastra dilengkapi dengan Iccha (tujuan) dan Sakti (Kemampuan untuk mencapai tujuan  itu).
  • Pratyaksa (pengamatan), Anumana (analisa) dan Agama (pertimbangan / Informasi yang dapat dipercaya)
  • Sastratah (bersumber pada sastra/ajaran agama) Gurutah (bersumber pada  ajaran guru) dan Svatah (bersumber pada analisa dan pengalaman sendiri)
Berdasarkan ukuran atau pertimbangan tersebut seseorang dapat menentukan  perbuatan yang patut dan baik untuk dilaksanakan. Untuk dapat menentukan perbuatan  itu, seseorang hendaknya mengetahui dan dapat memilih dan untuk itu berbagai pertimbangan sangat diperlukan. Kemampuan untukl mengetahui (Maknanya) dan  memilih ( yang patut dan baik dilakukan ) merupakan pegangan moralitas.
Penilaian moralitas tidaklah dapat diukur dari penampilan luar seseorang  demikian pula dalam kitan bertingkah laku yan baik dan benar. Untuk itu ajaranya  agama Hindu menuntut kepada umatnya untuk memiliki kepekaan sehingga mampu  mendengarkan bisikan Sang Hyang Widi Atma yang bersemayan pada hati setiap  orang. Bisikan sang Hyang Atma adalah bisikan hati nurani yang selalu jujur.  Nilai pribadi seseorang tidak dapat diukur dengan kekayaan yang dimiliki,  kepandaian, kecerdasan atau kebangsawanan yang dimiliki. Perhatikanlah terjemahan  sloka Sarasamuccaya berikut :
Meski ia Brahmana yang berusia lanjut, Jika perilakunya tidak susila, tidaklah patut disegani. Walaupun ia seorangn Sudra, jika perilakunya berpegang pada  Dharma dan kesucian patutlah ia dihormati dan disegani (161)
Tingkah laku yang baik merupakan alat untuk menjaga Dharma dan satra suci. Pikiran yang teguh dan bulat merupakan upaya untuk menjunjungnya, adapaun  keindahan paras adalah keberhasilan pemeliharaannya demikian pula kelahiran  seseorang, semuanya budi pekerti susila yang menegakkannya (162).
Tingkah laku yang baik merupakan sebab dikenal sujana, demikian walaupun ia  tidak memiliki silsilah dari orang-orang, asalkan ia berasusila, akan diketahui  pula asal -usulnya (163)
Pengetahuan tenang kitab suci Veda (Catur Veda) dengan enam cabang dan anak cabangnya, kemahiran tentang ajaran filsafat (sastra suci) Samkhya, Purana  dan kelahiran.yang mulia, semuanya itu tidak akan berpahala bagi orang yang  berkelakuan jahat , Akhirnya semua pengetahuan dan kelahiran yang dimilikinya  tidak ada artinya (164)
Lagi pula tidak kuasa kaum kerabat dan sanak keluraga memberikan pertolongan, membebaskan diri dari kesedihan hati, begitupun emas segala hak milik Kebangsawanan,  sastra dan mantra-mantra serta kekuasaan tidak akan dapat memberi pertolongan, tang dapat menolong hanyalah tingkah laku, oleh karena itu ia sungguh yang  dapat melenyakan kedudukan hati didunia yang lain kelak dikemudian hari (167).
Didalam agam Hindu kita jumpai banyak ajaran yang menuntun manusia untuk  menjadi manusia yang sujana, berbudi luhur dan bertingkah laku yang bersusila,  tidak bertentangan dengan moral dan ajaran Dharma.

4. Toleransi

Toleransi artinya penghargaan, yakni memberikan penghargaan terhadap orang  lain dalam hal ini yang paling menonjol adalah penghargaan terhadap ajaran  agama yang dianut oleh orang lain.
Sesungguhnya toleransi tidak hanya berkaitan  dengan penganut agama yang lain tetapi juga perlu ditumbuhkan dalam kaitannya  dengan kehidupan intern umat beragama, maksudnya bila terdapat perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama dalam intern umat seagama, maka penghargaan atau toleransi perlu ditumbuhkembangkan, demikian pula dengan umat yang lain (antar umat  beragama) dan antara umat beragama dengan pemerintah.
Kitab suci Veda menegaskan  perlunya toleransi itu sebagai perwujudan pengamalan ajaran agama :
  • Bumi ini tempat tinggal seluruh umat manusia, seperi keluarga, semuanya berbicara berbeda-beda dan menganut kepercayaan (agama) yang berbeda-beda,  semuanya hendaknya seperti sapi-sapi yang bersatu salam satu kandang sapi  kepadanya kesejahteraan akan berlimpah (Atharvaveda XII.I.45)
  • Bumi yang luas ini adalah ibu dan sahabat kita (Atharvaveda IX,10,12)
  • Marilah kita menghormati kemerdekaan (harkat dan martabat) seseorang (Rg  veda I.80.1)
  • Wahai umat manusia, Aku memberikan kepadamu sifat-sifat yang ramah dan  manis pupuklah keharmonisan dan persaudaraan tanpa permusuhan diantara kamu,  seperti halnya seekor induk lembu terhadap anaknya yang baru lahir, demikianlah  hendanya kamu menyayangi sesamamu (Atharvaveda III.83.8.)
  • Wahai orang-orang dermawan, marilah kita wujudkan persaudaraan yang sederajat  di dalam kandungan ibu pertiwi (Rg Veda VIII.83.8).
  • Wahai umat manusia, maju teruslah kamu, jangan bertikai di antara kamu,  engkau adalah pengikut untuk tujuan yang sama, hormatilah yang lebih tua,  milikilah pikiran-pikiran luhur dan pusatkan perhatian pada kerja. Ucapkanlah  kata-kata manis di antara kamu. Aku jadikan engkau semuanya bersatu dan Aku  rakhmati engkau dengan pikiran-pikiran yang mulia (Atharvaveda III.10.5)
Lebih jauh dalam susatra Veda yang lain dinyatakan :
  • Hendaknya setiap orang tidak menyakliti makhluk lain, berpegang pada kebernan (Dharma), tidak pemarah, melepaskan diri dari ikatan keduniawian, tentram  dan tidak suka memfitnah, kasih sayang terhadap semua makhluk, tidak tamak,  lemah lembut sopan santun dan teguh iman (Bhagawadgita, XVI.2.)
  • Persembahan kepada dewa-dewa, kepada pandita, kepada guru, kepada orang  suci, jujur, kuat menahan hawa nafsu dan tidak menyakiti makhluk lain adalah  pantangan diri sendiri di dunia (Bhagavadgita XVII.14.)
  • Seseorang yang tidak menjalankan Dharma atau yang mendapatkan kakayaan  dengan jalan curang dan orang yang suka menyakiti hati makhluk lain tidak  akan pernah bahagia di dunia ini (Manavadharmasstra IV.170.)
Masih banyak ajaran toleransi yang dapat kita jumpai dalam kitab Veda dan susastra Hindu lainya yang perlu kita gali dan diamalakan dalam kehidupan  bersama dalam masyarakat berbhineka ini.
5. Upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Mampukah ajaran agama, khususnya ajaran pengendalian, etika dan toleransi  dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia ? Untuk menjawab permasalahan  ini kita hendaknya dapat memahami kembali fungsi dan peranan agama kehidupan  umat manusia, yaitu sebagai :
  • Faktor motivatif yang mendorong manusia meningkatkan kualitas hidupnya  .
  • Faktornya kreatif dan innovatif, yang mendorong untuk berkreasi dan mengadakan pembharuan dalam dirinya.
  • Faktor insfiritif yang memberikan inspirasi untuk mengabdi kemanusiaan.
  • Faktor edukatif yang mendidik diri manusia untuk mencapai kedewasaan.
  • Faktor transformatif dan sublimatif yang mampu mengubah dirinya yang tidak  baik menjadi baik.
Bila fungsi agama dilaksanakan atau memancar diri manusia, maka dengan sendirinya seseorang akan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia atau potensi-potensi yang dimilikinya. Agama tidak hanya mengajarkan manusia untuk mewujudkan kehidupan spiritual di alam baka saja, tatapi di tunut pula kepada umatnya untuk direalisasikan,  diamalkan dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Agama Hindu (Khususnya kitab suci Veda) sangat menekankan betapa pentingnya pemeliharaan badan jasmani ini seseorang sebab dengan jasmani sehat dan akan  lebih baik melaksanakan Dharma atau swadharma yang dibebankan kepadanya. Pemeliharaan jasmani dengan jalan berolah raga serta makan dan minum makanan dan minuman  yang nmenyehatkan, sedang pemeliharaan rohani dengan mengamalkan ajaran agama sebaik-baiknya.
Aritani me sarva atma anibhrstah
Atharvaveda XIX.60.2
(Hendaknya badan dan pikiran kami sehat, babas dari segala penyakit sehingga  selalu bangkit untuk meningkatkan diri)
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapatkah kita pahami bahwa jasmani sehat  dan pikiran yang sehat pula merupakanan modal dasar untuk meningkatkan kualitas  pribadi kita. Meningkatkan kualitas pribadi hendaknya senantiasa diupayakan  dan hal ini diamanatkan oleh kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya. Pengamalan  ajaran agama bermuara pada pengendalian diri, etika dan toleransi yang pada  akhirnya adalah meningkatkan mutu atau kualitas pribadi manusia.

6. Penutup

Pengendalian diri, etika dan toleransi merupakan cerminan atau pancaran  dari pengamalan ajaran agam Hindu. Agama tidak akan ada artinya bila tidak  diamalkan sebagai mana mestinya. Agama akan besifat verbal atau hanya berupa  slogan saja. Bila agama dilaksanakan dengan mantap maka tujuan hidup berupa  kesejahteraan dan kebahagiaan akan segera dapat diwujudkan.
Dalam kehidupan bersama dalam masyarakat maka pengendalian diri, etika dan toleransi hendaknya senantiasan ditumbuh kembangkan, dengan demikian keharmonisan sebagai landasan kehidupan yang sejahtera, tentram dan bahagia menjadi kenyataan.
Om Santih Santih Santih.

Sumber: http://www.hindu-dharma.org

Minggu, 06 November 2011

Tri Kaya Parisudha dalam Segala Aspek Kehidupan

Subha Asubha KarmaPada dasarnya sesuai dengan siklus “rwabhineda” perbuatan manusia dapat ditinjau dan dua sisi/dimensi yang berbeda, yaitu antara perbuatan yang baik (subha karma) dan perbuatan yang tidak baik/buruk (asubha karma). Perputaran/siklus subha dan aszibha karma ini selalu saling bertautan dan silih berganti satu sama lainnya dan tidak dapat dipisahkan.

Demikianlah sikap dan prilaku manusia selama hidupnya berada pada dua jalur yang berbeda itu, sehingga patut dengan kesadaran budhi nuraninya (manusia) harus dapat menggunakan kemampuan berpikirnya kearah yang lebih baik dan benar. Apabila manusia sebagai makhluk berpikir (punya manah) mau dan mampu mengarahkan pikirannya ke arah yang baik akan mengakibatkan ucapan dan perilakunya menjadi baik (subha karma).

Sebaliknya apabila tidak mampu mengarahkan pikiran (mengendalikannya) kearah yang baik, hal inilah mengakibatkan manusia berucap dan berbuat yang buruk (asubha karma)
Sebagai manusia dengan kekiiatan idep/manah ini harus dengan cermat dapat memilah dan memilih perbuatan baik sehingga tidak terjerembab dalam perbuatan buruk. Dalam Sarasamuscaya ditegaskan bahwa hakekat penjelmaan sebagai manusia adalah untuk rneningkatkan/menyempurnakan diri dari perbuatan buruk (asuba karma) menjadi perbuatan baik (subha karma).

“manusah sarwabhutesu, vartate vai subhasubhe
asubhesu samavistam, subhesveva văkărayet”
 (Sarasamuscaya, 2).

Artinya:
Di antara semua makhluk hidup hanya yang dilahirkan sebagai manusia sajalah yang dapat berbuat baik ataupun buruk, Leburlah ke dalam perbuatan baik segala perbuatan buruk itu; Demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia.
Apa yang diuraikan dan dijelaskan pada sloka tersebut di atas adalah tugas utama atau hakekat penjelmaan sebagai manusia, untuk melebur perbuatan buruk (asubha karma) menjadi perbuatan baik (subha karma).

Hanya dengan berbuat baiklah manusia menunjukkan eksistensinya sebagai makhluk yang utama, sebagaimana disuratkan dalam Sarasamuscaya 4 sebagai berikut:

Apan iking dadi wwang uttama juga ya,
nimittaning mangkana wenang ya
tumulung awaknya sakeng sangsara,
makasadhanang subha karma,
hinganing kottamaning dadi wwang ika

Maksudnya:
Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama, sebabnya demikian karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikianlah keutamaan/keuntungan dapat menjelma menjadi manusia.
Lantas bagaimana halnya bila seseorang tidak mau melaksanakan perbuatan baik? Orang yang demikian itu dianggap (bagaikan) orang sakit (penyakit) yang menjadi obat neraka loka dan apabila meninggal dunia, maka ia dianggap sebagai orang sakit yang pergi ke suatu tempat dimana tidak ada obat-obatan yang mengakibatkan selalu dalam penderitaan yang membara.
Oleh karena itu usahakanlah selalu secepatnya berbuat yang baik (subha karma).

Tri Kaya Parisudha
Tri Kaya Parisudha yang menjadi konsentrasi pembahasan kali ini adalah merupakan salah satu aplikasi dan perbuatan baik (subha karma). Secara etimologi Tri Kaya Parisudha (bahasa Sanskerta) dari kata Tri berarti tiga, Kaya berarti perbuatan/prilaku dan Parisudha berarti (amat) disucikan. Adapun rinciannya (Tri Kaya Parisudha) terdiri dari:

a. Manacika, yaitu berpikir yang bersih dan suci.
b. Wacika, yaitu berkata yang baik, sopan dan benar
c. Kayika, yaitu berbuat yang jujur, baik dan benar.

Secara hirarki bermula dan pikiran yang baik dan benarlah akan mengalir ucapan dan perbuatan yang baik dan benar pula. Jadi kuncinya adalah pada pikiran, yang dalam pepatah sama dengan “dan telaga yang jernihlah mengalir air yang jernih pula”. Kalau pikirannya kacau, apalagi memikirkan yang macam-macam dan bukan-bukan niscaya perkataan dan perbuatannyapun akan amburadul yang bermuara pada kehancuran dan penderitaan.
Dari Tri Kaya Parisudha ini timbul adanya sepuluh pengendalian diri yang disebut karmapatha, sesuai dengan apa yang tesurat dan tersirat dalam Sarasamuscaya, 73 sebagai berikut:
“Hana karmapatha ngaranya, khrtaning indrya,
sapuluh kwehnya, ulakêna, kramanya : prawerttiyaning manah sakarêng,
têlu kwehnya, ulahaning wâk pât pwarttiyaning kâya, tělu pinda sapuluh,
prawerttyaning kaya, wak, manah ken geta”.

Maksudnya:
Adalah karma patha namanya, yaitu pengendalian hawa nafsu, sepuluh banyaknya yang patut dilaksanakan; gerak pikiran tiga banyaknya, ucapan/perkataan empat (4) jumlahnya, gerak tindakan/laksana tiga (3) banyaknya. Jadi sepuluh (10) jumlahnya perbuatan yang timbul dari gerakan badan, perkataan, dan pikiran itulah patut diperhatikan.

Lebih lanjut diuraikan Tri Kaya Parisudha itu sebagai berikut:
1. Manacika (pikiran yang bersih dan suci) antara lain:
 tidak ingin dan dengki pada milik orang lain (si tan engin adengkya ri drbyaning len)
 tidak bersikap gemas (marah), kasar kepada semua makhluk (si tan krodha ring sarwa sattwa).
 percaya akan kebenaran ajaran karmaphala (si mamituha ni hananing karmaphala).
2. Wacika (ucapan/perkataan yang baik, jujur dan benar) antara lain, hindarilah:
- Perkataan jahat, menyakitkan, kotor (ujar ahala).
- Perkataan keras, menghardik, kasar (ujar aprgas)
- Perkataan memfitnah (ujar pisuna)
- Perkataan bohong (ujar mithya)
3. Kayika (perbuatan bait, jujur dan  benar) yaitu:
- Tidak menyiksa dan membunuh (syamati-mati)
- Tidak mencuri (mangahalalhalal)
- Tidak berbuat zina (si paradara).
Ketiga prihal tersebut di atas hendaknya jangan dilakukan baik dalam bersenda gurau, berolok-olok, keadaan darurat maupun dalam keadaan dirundung malang sekalipun. Dalam sloka 77 dipertegas bahwa ketiga hal itu (berpikir, berkata, dan berbuat) membuat orang dikenal dan akan sangat menarik perhatian orang untuk mengetahui kepribadian seseorang. Oleh karena itu hendaklah yang baik itu selalu dibiasakan dalam laksana, perkataan dan pikiran. Dari ketiga kaya (prilaku) baik dan benar tersebut di atas yang menjadi fokus pembahasan kita kali ini adalah wacika (ucapan) berikut sumber/alat yang mengucapkan.

Fungsi Mulut/Ucapan dalam Segala Aspek Kehidupan
Terkait dengan mulut terdapat beberapa ungkápan “miring” seperti “Besar mulut”. “Keluar dari mulut harimau masuk ke dalam mulut singa”. Pada mulut kita terdapat komponen yang sangat menentukan ucapan/kata-kata yakni lidah. Dalam panca budhindrya disebut “Jihvendrya” yang mempunyai fungsi ganda yaitu di satu sisi lidah sebagai indra pengecap dan di sisi lain lidah (mulut) berfungsi mengeluarkan kata-kata / ucapan.

Dalam kehidupan sehari-hari tanpa mulut orang tidak dapat makan dan minum secara kodrati/alami. Bila tidak makan dan minum mungkinkah orang dapat hidup? Walaupun dalam dunia kedokteran dikenal alat/sarana berupa infus, karena sebagai sarana fungsinya hanyalah membantu yang sifatnya sementara waktu saja. Di samping itu apa jadinya dan bagaimana rupa orang tanpa mulut?
Selanjutnya manusia disamping sebagai makhluk individu, juga sebagai makhluk sosial, yang selalu berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain, sehubungan dengan berkomunikasi inilah peranan dan fungsi mulut/ucapan memegang peranan yang amat penting. Dalam segala aspek kehidupan baik menyangkut bidang ekonomi, sosial, budaya, agama, politik maupun pertahanan dan keamanan.

Mari kita cermati contoh-contoh nyata ke semua aspek tersebut di atas secara sederhana saja.
 Dalam bidang ekonomi betapa pentingnya negosiasi-negosiasi dalam ucapan atau pembahasan dialog-dialog yang memecahkan permasalahan ekonomi. Bahkan dalam hal yang sangat sederhana, walaupun kita, membawa uang atau punya uang tanpa kita ngomong/berucap “saya mau beli sesuatu? Apakah kita diberikan sesuatu itu oleh penjualnya?
 Dalam bidang sosial kemasyarakatan tentunya lebih penting lagi peranan mulut/ucapan itu. Orang bersengketa/berselisih bisa didamaikan dengan berdialog yang tentunya dilandasi dengan hati dingin dengan semangat kebersamaan dan kekeluargaan (paras-paros, asah-asih-asuh, selunglung sabayantaka).
 Dalam budaya peranan ucapan sangat penting lebih-lebih menyang ku seni dan sastra dan bahasa. Dengan kekuatan seni sastra dan budaya akan mampu membuat seseorang terinspirasi, termotivasi serta tunduk dengan penintah seseorang.

Bung Karno dengan kemampuan oratornya bisa membangkitkan semangat bangsa Indonesia. Para Maha Rsi dengan sutra-sutranya dan ucapan/warah-warahnya menyebabkan para sisya-nya tunduk dan bhakti serta melaksanakan segala perintah/ajarannya. Hal tersebut di atas (ajaran para Rsi) jelas sebagai sumber ajaran agama yang sangat penting dalam menuntun dan mengarahkan hidup dan kehidupan ini.

Dalam dunia politik termasuk keamanan dan pertahanan sangat dominan dialog-dialog itu dilaksanakan dalam memecahkan segala persoalan. Sehingga nyambung dengan pepatah “Bulatnya air dalam pembuluh, bulatnya kata dalam mufakat”. Disini perlu adanya musyawarah dalam mencapai kata mufakat. Dalam musyawarah perlu adanya keluwesan, saling mengalah dan tidak bersikukuh pada ego masing-masing (jaja uli jaja gina satuh-satuh).
Satu hal yang perlu diperhatikan dan diingat bahwasanya sesuai dengan sirkulasi rwabhineda mulut/ucapan itu disamping menyebabkan kebaikan (kerahayuan) bisa jadi mengakibatkan keburukan/bencana (malapetaka). Hal ini disuratkan dalam kakawin Nitisastra V.3, sebagai berikut:
Wasita minittanta manêmu laksmi
Wasita minittanta pati kapangguh
Wasita minittanta manému dukha
Wasita minittanta menemu mitra.
Maksudnya :
Oleh perbuatan/ucapan engkau akan mendapatkan bahagia, oleh perkataan/ucapan engkau mendapatkan kematian/kehancuran, oleh perkataan/ucapan engkau mendapatkan kesusahan/kesedihan, oleh perkataan/ucapan engkau mendapatkan sahabat/kawan.

Dan penjelasan isi kakawin tersebut di atas dengan gamblang kita dapat menyimak akibat baik buruk dan ucapan/perkataan itu sendiri. Oleh karena itu Sri Wiwikananda pernah berkata : “Bila kita bercermin kita melihat gambaran/bayangan wajah kita bermata dua, telinga juga dua, lubang hidung juga dua, akan tetapi mulut cuma satu saja! Apa makna dibalik hal tersebut?
Bukanlah yang dimaksudkan bahwa, kita boleh banyak melihat, banyak mendengar termasuk banyak mencium atau menikmati sesuatu, akan tetapi harus berhati-hati dalam berucap. Sebab salah ucap akan berdampak kehancuran atau mala petaka.

Siapapun salah menyampaikan sesuatu lebih-lebih terhadap ajaran termasuk mata pelajaran/bidang studi akan berakibat fatal bagi siswa yang menerimanya.

Demikian sebaliknya barang siapa dapat mengajarkan atau memberikan tuntunan yang baik niscaya akan dapat mengangkat kualitas dan martabat seseorang yang ditandai dengan sikap dan perilakunya di masyarakat.

Orang akan selalu melihat dan menilai seseorang dan sikap dan perilakunya yang tentunya diwarnai serta dilandasi oleh pola pikir dan ucapannya (“gajah mati meninggalkan gadinnya, harimau mati meninggalkan belangnya “).

Oleh karena itu marilah kita bersama-sama berusaha dengan sepenuh hati (nekeng tuas) untuk mengontrol pikiran (manah), agar mengikuti kesadaran budhi (mahat) sehingga akan mengalir menjadi ucapan yang baik dan benar, serta merta diaplikasi/diwujud nyatakan dalam perbuatan (laksana) yang tentunya akan bermanfaat baik bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat bangsa dan negara.
warah-warahnya menyebabkan para sisya-nya tunduk dan bhakti serta melaksanakan segala perintah/ ajarannya. Hal tersebut di atas (ajaran para Rsi) jelas sebagai sumber ajaran agama yang sangat penting dalam menuntun dan mengarahkan hidup dan kehidupan ini.
Dalam dunia politik termasuk keamanan dan pertahanan sangat dominan dialog-dialog itu dilaksanakan dalam memecahkan segala persoalan. Sehingga nyambung dengan pepatah “Bulatnya air dalam pembuluh, bulatnya kata dalam mufakat”. Disini perlu adanya musyawarah dalam mencapai kata mufakat. Dalam musyawarah perlu adanya keluwesan, saling mengalah dan tidak bersikukuh pada ego masing-masing (jaja uli jaja gina satuh-satuh).
Satu hal yang perlu diperhatikan dan diingat bahwasanya sesuai dengan sirkulasi rwabhineda mulut/ucapan itu disamping menyebabkan kebaikan (keraha yuan) bisa jadi mengakibatkan keburukan /bencana (malapetaka). Hal ini disuratkan dalam kakawin Nitisastra V.3, sebagai berikut:
Wasita minittanta manêmu laksmi
Wasita minittanta pati kapangguh
Wasita minittanta manému dukha
Wasita minittanta menemu mitra.
Maksudnya :
Oleh perbuatan/ucapan engkau akan mendapatkan bahagia, oleh perkataan/ucapan engkau menda patkan kematian/kehancuran, oleh perkataan/ucapan engkau mendapatkan kesusahan/kesedihan, oleh perkataan/ucapan engkau mendapatkan sahabat/ kawan.
Dari penjelasan isi kakawin tersebut di atas dengan gamblang kita dapat menyimak akibat baik buruk dan ucapan/perkataan itu sendiri. Oleh karena itu Sri Wiwikananda pernah berkata : “Bila kita bercermin kita melihat gambaran/bayangan wajah kita bermata dua, telinga juga dua, lubang hidung juga dua, akan tetapi mulut cuma satu saja! Apa makna dibalik hal tersebut?
Bukanlah yang dimaksudkan bahwa, kita boleh banyak melihat, banyak mendengar termasuk banyak mencium atau menikmati sesuatu, akan tetapi harus berhati-hati dalam berucap. Sebab salah ucap akan berdampak kehancuran atau mala petaka.

Siapapun salah menyampaikan sesuatu lebih-lebih terhadap ajaran termasuk mata pelajaran/bidang studi akan berakibat fatal bagi siswa yang menerimanya.

Demikian sebaliknya barang siapa dapat mengajarkan atau memberikan tuntunan yang baik niscaya akan dapat mengangkat kualitas dan martabat seseorang yang ditandai dengan sikap dan perilakunya di masyarakat.

Orang akan selalu melihat dan menilai seseorang dan sikap dan perilakunya yang tentunya diwarnai serta dilandasi oleh pola pikir dan ucapannya (“gajah mati meninggalkan gadingnya, harimau mati meninggalkan belangnya “).

Oleh karena itu marilah kita bersama-sama berusaha dengan sepenuh hati (nekeng tuas) untuk mengontrol pikiran (manah), agar mengikuti kesadaran budhi (mahat) sehingga akan mengalir menjadi ucapan yang baik dan benar, serta merta diaplikasi/diwujudnyatakan dalam perbuatan (laksana) yang tentunya akan bermanfaat baik bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat bangsa dan negara.• WHD No. 475 Agustus 2006.

Sumber : http://www.parisada.org

Senin, 24 Oktober 2011

GAJAH MADA

Gajah Mada (wafat k. 1364) adalah seorang panglima perang dan tokoh yang sangat berpengaruh pada zaman kerajaan Majapahit. Menurut berbagai sumber mitologi, kitab, dan prasasti dari zaman Jawa Kuno, ia memulai kariernya tahun 1313, dan semakin menanjak setelah peristiwa pemberontakan Ra Kuti pada masa pemerintahan Sri Jayanagara, yang mengangkatnya sebagai Patih. Ia menjadi Mahapatih (Menteri Besar) pada masa Ratu Tribhuwanatunggadewi, dan kemudian sebagai Amangkubhumi (Perdana Menteri) yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya.
Gajah Mada terkenal dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa, yang tercatat di dalam Pararaton. Ia menyatakan tidak akan memakan palapa sebelum berhasil menyatukan Nusantara. Meskipun ia adalah salah satu tokoh sentral saat itu, sangat sedikit catatan-catatan sejarah yang ditemukan mengenai dirinya. Wajah sesungguhnya dari tokoh Gajah Mada, saat ini masih kontroversial. Pada masa sekarang, Indonesia telah menetapkan Gajah Mada sebagai salah satu Pahlawan Nasional dan merupakan simbol nasionalisme dan persatuan Nusantara.

Awal karier 

Tidak ada informasi dalam sumber sejarah yang tersedia saat pada awal kehidupannya, kecuali bahwa ia dilahirkan sebagai seorang biasa yang naik dalam awal kariernya menjadi Begelen atau setingkat kepala pasukan Bhayangkara pada Raja Jayanagara (1309-1328) terdapat sumber yang mengatakan bahwa Gajah Mada bernama lahir Mada sedangkan nama Gajah Mada kemungkinan merupakan nama sejak menjabat sebagai patih.
Dalam pupuh Désawarnana atau Nāgaraktāgama karya Prapanca yang ditemukan saat penyerangan Istana Tjakranagara di Pulau Lombok pada tahun 1894 terdapat informasi bahwa Gajah Mada merupakan patih dari Kerajaan Daha dan kemudian menjadi patih dari Kerajaan Daha dan Kerajaan Janggala yang membuatnya kemudian masuk kedalam strata sosial elitis pada saat itu dan Gajah Mada digambarkan pula sebagai "seorang yang mengesankan, berbicara dengan tajam atau tegas, jujur dan tulus ikhlas serta berpikiran sehat".
Menurut Pararaton, Gajah Mada sebagai komandan pasukan khusus Bhayangkara berhasil memadamkan Pemberontakan Ra Kuti, dan menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309-1328) putra Raden Wijaya dari Dara Petak. Selanjutnya di tahun 1319 ia diangkat sebagai Patih Kahuripan, dan dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih Kediri.
Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Aryo Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Dan menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui, tetapi ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang memberontak terhadap Majapahit. Keta dan Sadeng pun akhirnya dapat ditaklukan. Akhirnya, pada tahun 1334, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi (1328-1351) yang waktu itu telah memerintah Majapahit setelah terbunuhnya Jayanagara.

Sumpah Palapa

Ketika pengangkatannya sebagai patih Amangkubhumi pada tahun 1258 Saka (1336 M) Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang berisi bahwa ia akan menikmati palapa atau rempah-rempah (yang diartikan kenikmatan duniawi) bila telah berhasil menaklukkan Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton dalam teks Jawa Pertengahan yang berbunyi sebagai berikut

"Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa"
bila dialih-bahasakan mempunyai arti :

"Beliau, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa"

 Invasi

Walaupun ada sejumlah pendapat yang meragukan sumpahnya, Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara. Dimulai dengan penaklukan ke daerah Swarnnabhumi (Sumatera) tahun 1339, pulau Bintan, Tumasik (sekarang Singapura), Semenanjung Malaya, kemudian pada tahun 1343 bersama dengan Arya Damar menaklukan Bedahulu (di Bali) dan kemudian penaklukan Lombok, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kendawangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Sulu, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.
Pada zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Gajah Mada terus melakukan penaklukan ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwu, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.

Dilema

Terdapat dua wilayah di Pulau Jawa yang seharusnya terbebas dari invasi Majapahit yakni Pulau Madura dan Kerajaan Sunda karena kedua wilayah ini mempunyai keterkaitan erat dengan Narrya Sanggramawijaya atau secara umum disebut dengan Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit (Lihat: Prasasti Kudadu 1294 dan Pararaton Lempengan VIII, Lempengan X s.d. Lempengan XII  dan Invasi Yuan-Mongol ke Jawa pada tahun 1293) sebagaimana diriwayatkan pula dalam Kidung Panji Wijayakrama.

Perang Bubat

Dalam Kidung Sunda diceritakan bahwa Perang Bubat (1357) bermula saat Prabu Hayam Wuruk mulai melakukan langkah-langkah diplomasi dengan hendak menikahi Dyah Pitaloka putri Sunda sebagai permaisuri. Lamaran Prabu Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan Sunda, dan rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk melangsungkan pernikahan agung itu. Gajah Mada yang menginginkan Sunda takluk, memaksa menginginkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan pengakuan kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda mengenai hal ini, terjadilah pertempuran tidak seimbang antara pasukan Majapahit dan rombongan Sunda di Bubat; yang saat itu menjadi tempat penginapan rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayah dan seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu langkah-langkah diplomasi Hayam Wuruk gagal dan Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya karena dipandang lebih menginginkan pencapaiannya dengan jalan melakukan invasi militer padahal hal ini tidak boleh dilakukan.
Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Sang raja menganugerahkan dukuh "Madakaripura" yang berpemandangan indah di Tongas, Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia memerintah dari Madakaripura.

Akhir hidup

Disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah sakit. Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi.
Raja Hayam Wuruk kehilangan orang yang sangat diandalkan dalam memerintah kerajaan. Raja Hayam Wuruk pun mengadakan sidang Dewan Sapta Prabu untuk memutuskan pengganti Gajah Mada. Namun tidak ada satu pun yang sanggup menggantikan Patih Gajah Mada. Hayam Wuruk kemudian memilih empat Mahamantri Agung dibawah pimpinan Punala Tanding untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Mereka pun digantikan oleh dua orang mentri yaitu Gajah Enggon dan Gajah Manguri. Akhirnya Hayam Wuruk memutuskan untuk mengangkat Gajah Enggon sebagai Patih Mangkubumi menggantikan posisi Gajah Mada.

Penghormatan

Sebagai salah seorang tokoh utama Majapahit, nama Gajah Mada sangat terkenal di masyarakat Indonesia pada umumnya. Pada masa awal kemerdekaan, para pemimpin antara lain Sukarno sering menyebut sumpah Gajah Mada sebagai inspirasi dan "bukti" bahwa bangsa ini dapat bersatu, meskipun meliputi wilayah yang luas dan budaya yang berbeda-beda. Dengan demikian, Gajah Mada adalah inspirasi bagi revolusi nasional Indonesia untuk usaha kemerdekaannya dari kolonialisme Belanda.
Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta adalah universitas negeri yang dinamakan menurut namanya. Satelit telekomunikasi Indonesia yang pertama dinamakan Satelit Palapa, yang menonjolkan perannya sebagai pemersatu telekomunikasi rakyat Indonesia. Banyak kota di Indonesia memiliki jalan yang bernama Gajah Mada, namun menarik diperhatikan bahwa tidak demikian halnya dengan kota-kota di Jawa Barat.
Buku-buku fiksi kesejarahan dan sandiwara radio sampai sekarang masih sering menceritakan Gajah Mada dan perjuangannya memperluas kekuasaan Majapahit di nusantara dengan Sumpah Palapanya, demikian pula dengan karya seni patung, lukisan, dan lain-lainnya.

sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Gajah_Mada

Rabu, 19 Oktober 2011

BAGAIMANA UPAYA UNTUK MENCARI HAKEKAT TUHAN


Beberapa Konsep yang Dipakai oleh Umat Hindu di Bali Sebagai Media Penghubung Dalam Mencari Hakikat Terhadap Tuhan Yang Maha Esa/ Hyang Widhi Wasa antara lain:

(A) Memuja Tuhan Dengan Memuja Langsung Alam Semesta dan Hasil Ciptaan-Nya, Sebagai Manifestasi Tuhan Yang Maha Esa/Hyang Widhi Wasa

(B) Memuja Tuhan Melalui Media; Arca, Pratima, Gambar, Upakara, Sebagai Simbol Penghubung Ke Alam Kosmis, Hyang Widhi

(C) Memuja Tuhan Melalui Animisme dan Dinamisme, Media Komunikasi Antara Alam, Manusia dan Dewa Tertinggi Sekitarnya

(D) Memuja Tuhan Melalui Tari Wali Barong dan Rangda, Proses Pengembalian Panca Maha Bhuta dan Panca Tan Matra

(E) Memuja Tuhan Melalui Organ Gerak Yang Ada Dalam Tubuh Proses Pencaharian Jati Diri Terhadap Tuhan/Hyang Widhi

(F) Memuja Tuhan Melalui Pendekatan Pertapaan Para Raja Yang Dicandikan, Diyakini Sebagai Titisan Dewa

(G) Memuja Tuhan Melalui Kawitan (Stana Leluhur Yang Disucikan) Media Terdekat Antara Manusia dan Tuhan/Hyang Widhi, berikut interpretasi antara:

A. Memuja Tuhan Dengan Memuja Langsung Alam Semesta dan Hasil Ciptaan-Nya Sebagai Manifestasi Tuhan Yang Maha Esa

Perkembangan peradaban manusia yang pada awalnya meyakini alam semesta dan hasil ciptaan-Nya, seperti: Aditya (dewa matahari), Agni (dewa api), Apah (dewa air), Candra (dewa bulan), Yama (dewa maut), Varuna (dewa langit), Sukra (dewa planet venus), Indra (dewa penguasa), Vayu (dewa angin), Maruta (dewa angin), Soma (dewa bulan), Om (aksara suci), serta manifestasi lain adalah sebagai media penghubung dalam pencaharian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang diucapkan oleh orang-orang suci pada zaman dahulu.

Yang dipuja bukan benda atau alat itu, tapi misteri/spirit yang ada dibalik benda itu, yaitu: ada asal muasal, ada kehidupan, ada keindahan, ada kekuatan, ada keajaiban, ada manfaat, dan ada unsur-unsur lain yang mengikuti. Agama Hindu berusaha memuliakan hasil ciptaan-Nya, dimana kita ketahui, untuk mengetahui Tuhan ketahuilah hakikat alam dalam arti sebenarnya. Orang-orang bijak memberikan patokan hari-hari tertentu sebagai wujud syukur dan terimakasih umat kepada-Nya, misalnya: tumpek wariga, adalah hari memuliakan Tuhan dalam manifestasinya sebagai dewa sangkara, sebagai dewa tumbuh-tumbuhan yang sangat bermanfaat dalam kehidupan ini.

Kita tidak tahu dari mana asal muasal keberadaannya, kapan dan siapa yang menciptakan keanekaragaman, tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia dan seluruh isi alam semesta ini. Umat Hindu di Bali, dalam upacara persembahyangan memakai sarana bunga, memuja Aditya/Raditya (matahari), manifestasi Tuhan sebagai dewa surya adalah aspek Tuhan sebagai saksi, pemberi penerangan dikegelapan, disamping memberikan spirit (roh) ke alam semesta ini. Ada istilah Siwa Raditya artinya Dewa Siwa pun memuja Matahari. Dan selanjutnya memuja Istadewata (dewata pujaan), serta memuja Manifestasi Tuhan yang berstana dilingkungan setempat sesuai dengan sifat dan fungsi-Nya. Dalam catatan sejarah Bali Kuno disebut: Hyang Danawa (dewa danau), Hyang Gunung (dewa gunung), Hyang Api (dewa api), Punta Hyang (dewa resi), Hyang da Tonta (dewa pancering jagat), Hyang Bukit Tunggal (dewa bukit tunggal), Hyang Karimana (dewa karimana), Hyang Pucak Tegeh (Pura Gunung Penulisan), Hyang Parama Kawi (dewa sastra), Hyang Widhi (sinar suci Tuhan), dan sebutan lainnya.

B. Memuja Tuhan Melalui Media: Arca, Gambar, Pratima, Upakara, Simbol Penghubung ke Alam Kosmis, Hyang Widhi

Seseorang disamping memuja langsung hasil ciptaan-Nya, dalam mengungkapkan perasaan isi hati, baik berupa harapan, permohonan dan tujuan kepada-Nya, juga menggunakan nyasa/simbol-simbol tertentu. Bagi umat awam simbolisme mendapat tempat yang sangat penting dalam penghayatan, dalam proses pendekatan diri kepada Tuhan/Hyang Widhi. Simbolisme religius akan menghasilkan kreatifitas seni dan budaya yang religius pula. Benda-benda alam sebagai manifestasi perwujudan-Nya, yang disucikan, diupacarai, dan dipuja-puji, diyakini bisa menghasilkan nilai magis/gaib yang tidak bisa dipecahkan oleh akal sehat dari pikiran manusia.

Para Maha Rsi Hindu zaman dahulu bersifat konsisten melakoni kehidupan wanaprasta, yaitu menjalani kehidupan dengan melepaskan keterikatan-keterikatan pemuasan jasmani dalam proses pencaharian jati diri terhadap Tuhan. Sehingga hasil perenungan para resi zaman dahulu, diwujud-nyatakan ke dalam bentuk seni dan diaplikasikan sifat dan fungsi Tuhan dalam bentuk; arca, gambar, pratima, upakara, bahasa, tari wali. Yang mempunyai nilai estetis, nilai simbolis, dan nilai spiritual. Seperti apa yang telah diwariskan oleh para leluhur kita terdahulu, misalnya; sifat dan fungsi Tuhan sebagai pembasmi kejahatan tampak tangan arca disimbolkan membawa kapak, fungsi Tuhan sebagai asal ilmu pengetahuan tampak tangan arca disimbolkan membawa lontar, sifat Tuhan sebagai penyejuk tampak tangan arca membawa sibuh (tempat tirta), serta diwujudkan dan digambarkan dengan banyak tangan sesuai fungsi dan kebesaran-Nya.

Demikian pula simbol-simbol yang terdapat dalam upakara bebantenan misalnya; daksina lambang stana Ida Hyang Widhi/Tuhan. Sedangkan banten guru piduka adalah mengandung nilai permohonan maaf umatnya. Banten porosan yang terdiri dari pinang yang berwarna merah simbol Dewa Brahma, daun sirih yang berwarna hijau simbol Dewa Wisnu, dan kapur yang berwarna putih simbol Dewa Siwa. Dengan demikian alam semesta sebagai hasil ciptaan-Nya adalah sakti-Nya dari pada Tuhan. Melalui ajaran agama atau sekte dijabarkan tentang hakikat ketuhanan tersebut. Kata sekte/agama adalah kelompok orang yang mempunyai kepercayaan akan pandangan agama yang sama, yang berbeda dari pandangan agama yang lazim diterima oleh para penganut agama tersebut, misalnya: sekte siwa, sekte bhuda, sekte waisnawa, sekte sakta, sekte indra, sekte bhairawa, sekte surya dan lain-lain.Yang mempunyai jalan dan identitas diri masing-masing, yaitu; ada istadewata (dewa pujaan), ada kitab suci, tempat ibadah, orang-orang suci, hari-hari suci, sarana yang dipakai, dan ada pengikutnya.

Dengan demikian seseorang yang ingin mengetahui hakikat dan kebesaran Tuhan ialah dengan jalan menjadi pengikut dari salah satu sekte/agama yang dianggap resmi oleh pemerintahan disaat itu yang diyakini menjadi penuntun dalam kehidupan ini. Dimana para Brahmana dari sekte tersebut dipercaya sebagai penerima wahyu atau sebagai penghubung dari alam niskala ke sekala begitu pun sebaliknya. Disamping sebagai pengajar dan menyebarkan agama Hindu dalam rangka pembinaan mental spiritual, juga peranan tokoh agama dalam bidang pemerintahan khususnya sebagai guru spiritual yang memberikan nasehat kepada raja, baik tentang ilmu pemerintahan, ilmu dialektika, ilmu tentang atman dan lain-lain

C. Memuja Tuhan Melalui Animisme dan Dinamisme, Media Komunikasi Antara Alam, Manusia dan Dewa Tetinggi Sekitarnya

Setelah masuknya agama Hindu di Bali, para penyebar (misionaris) agama Hindu sebegitu jauh hanya berhasil meng-Hindu-kan agama orang-orang Bali Aga (aga = gunung, orang Bali yang tinggal di pegunungan) dan Bali Mula (orang Bali yang hidup sebelum masuknya agama Hindu), namun belum secara tuntas merubah keyakinan penduduknya. Hal itu disebabkan sampai saat kini keyakinan masyarakat setempat lebih berdasarkan kepada kepercayaan lokal (local genius) yang telah diwariskan oleh para tetua mereka terdahulu, yaitu percaya dengan adanya roh/atma (butir ke 2 dari Panca Sradha) dan kekuatan alam sekitarnya, yang menjadikan mereka tunduk dan taat padanya.

Dalam buku Panca Dhatu (Donder.2004:68), mengutip kitab Brhad Aranyaka Upanisad II.15 menjelaskan, “Sesungguhnya Roh itu menguasai semua benda, Roh adalah raja dari semua benda. Sebagaimana halnya semua jari-jari dari roda itu disatukan di dalam sumbu rodanya, demikian juga halnya semua Roh dari semua benda, semua dewa, seluruh alam, semua makhluk hidup, semuanya disatukan dalam satu kesatuan yang Maha Besar”.

Dalam filsafat ketuhanan disebut Animisme dan Dinamisme, adalah suatu keyakinan segala sesuatu di alam semesta ini didiami dan dikuasai oleh roh (asal kata rauh) yang berbeda-beda. Dan mempunyai kekuatan alami dari masing-masing benda itu, baik roh para dewa, roh leluhur, roh hewan, dan roh seluruh benda yang bergerak dan tidak bergerak, bahkan dengan perkataan lain, semua benda berjiwa. Kita hidup karena mengorbankan jiwa mahluk lain sebagai penyambung hidup ini, begitupun sebaliknya, mahluk lain dengan kekuatan yang dimiliki akan ‘memangsa’ jiwa mahluk lain dan seterusnya, sesuai dengan sifat dan fungsi dari mahluk tersebut.

Karena manusia mempunyai; akal, pikiran, dan kelebihan lain yang tidak didapat pada hewan, sehingga manusia menjadi media komunikasi ke alam kosmis. Seperti diketahui, fenomena kerauhan (kedatangan roh), yang sering terjadi baik di sekolah, di pesantren, di tempat kerja, di pura, juga dalam pementasan tari Barong dan Rangda dalam upacara keagamaan yang ada di Bali Selatan khususnya, sebagai bukti bahwa telah terjadi hubungan yang harmonis antara, manusia, alam, dan dewa sekitar/Tuhan. Dengan adanya kekuatan lain (kedatangan roh) ke tubuh manusia, bisa kerauhan dewa, kerauhan resi, kerauhan pitra, kerauhan manusa, dan kerauhan bhuta. Yang sangat sulit dimengerti, bagaimana roh hewan bisa merasuki tubuh manusia, sedangkan roh manusia tidak bisa merasuki tubuh hewan dan bisa berbahasa manusia pula. Bukankah ini aneh, seseorang bisa kebal seketika disaat akhir acara puja wali, pepatih (orang kerasukan roh lain) akan menyebut diri lebih dahulu pararencang (kelompok bhuta) mana yang ngaturan ngayah, misalnya:

ngayah macan gading, ngayah pongpong mal, ngayah gregek tunggek, ngayah pancung segara, ngayah leak barak, ngayah leak poleng, ngayah buta siu, ngayah batu kitik, ngayah gagak ghora, ngayah bluncat, ngayah blego, ngayah putih jimbaran, dalem petak, ngayah kobar api, ngayah grobag besi, ngayah kupu-kupu harum, ngayah bojog putih, ngayah blatuk tanah, ngayah dalem kahyangan, ngayah cerucuk kuning, ngayah jangkrik gading, ngayah penyu, ngayah titiran, ngayah kelelawar, ngayah waduk brerong . . .

Dan mungkin ribuan roh yang belum terwakili, sebelum menusuk-nusuk dirinya dengan sebilah keris (taji bahasa alam sana) bahkan lebih dari satu. Sebagai wujud ikhlas dan bukti utusan dari wilayah lain atas kehadirannya, tentunya ada hubungan historis dengan keberadaan suatu tempat (pura) tersebut.

Disamping fungsi kerauhan untuk mengetahui bahwa upakara dan upacara telah diterima oleh Dewa/Bhatara yang berstana di suatu tempat. Juga dalam pengesahan perubahan status dan fungsi dari suatu kahyangan (pura), misalnya dalam perubahan status dan fungsi dari kahyangan desa menjadi kahyangan jagat, atau perubahan status dan fungsi dari pura Ibu menjadi pura Panti, dan dari pura Panti menjadi pura Dadya, dan sebagainya. Siapakah yang patut mengabsahkan perubahan status dan fungsi pura tersebut? Karena pura peruntukan bagi para dewa dan roh leluhur yang disucikan, yang tentunya tidak dilihat oleh kasat mata.

Seseorang yang dipinjam badan raganya oleh kekuatan dewa adalah orang-orang khusus sesuai kriteria yang ditentukan oleh kekuatan alam/gaib, misalnya; seseorang yang ‘ditunjuk’ sebagai pengadegan (mediator) dari Dewa/Bhatara yang berstana di pura setempat, orang itu harus kerauhan berkali-kali di pura mana akan mengabdi. Disamping itu calon sadeg akan dipertemukan antara Guru Niskala (peminjam raga) dengan Bhatara Hyang Guru (Kawitan pemilik jiwa, rohani) atas ijin Bhatara Kawitan bahwa sentana (keturunannya) akan dipakai sebagai kekudan, sadeg, pedasar, baik melalui kasat mata, impian, atau ditunjuk oleh orang suci. Pada saat pertemuan segitiga itu, kita akan mengenal wajah beliau, warna kulit beliau, busana yang dipakai dan karakter lainnya. Selanjutnya baru menerima petunjuk lewat pawisik dari guru pembimbing niskala. Serta pantangan-pantangan lain yang mesti dilakoni, melanggar dari aturan secara tiba-tiba akan kerauhan, kaku ditempat, kesakitan, dan keadaan yang tidak menyenangkan lainnya. Yang pada akhirnya mereka harus tunduk dan taat pada kekuatan gaib yang ada disekitarnya, itulah ajaran langsung yang mesti dilakoni oleh orang pencari pencerahan rohani. Disamping keriteria lain yaitu orang yang dipakai badan raganya tidak lepas dari garis keturunan (genetics) para leluhur yang ikut merintis sejak awal sejarah keberadaan suatu tempat atau pura tersebut.

Orang yang kerauhan dewa adalah sangat di istimewakan oleh tetua desa setempat karena dalam meminta petunjuk yang ada keterkaitan dengan parahyangan, pawongan, palemahan, pada suatu tempat, atau untuk mencari pengganti jero mangku, sadeg, kekudan, juru-juru, dan lainnya. Orang yang karauhan dewa ini dihaturkan geni/api, pesucian, harum-harum, kekidung, busana, serta upakara lain, karena sadeg itu sebagai media komunikasi ke alam kosmis dan sebaliknya.

Kerauhan adalah tahap awal menuju pintu gerbang ke-sulinggih (pendeta), pada akhirnya seorang sulinggih yang akan mengantarkan seluruh yadnya yang dihaturkan oleh umatnya, melalui bahasa akan kita ketahui kemana arah yadnya tersebut dihaturkan, apakah memakai bahasa dewa, bahasa resi, bahasa manusa, bahasa pitra, bahasa bhuta, sesuai dengan panca yadnya (lima korban suci) yang ada di Bali saat kini yaitu: korban suci yang dihaturkan untuk para: dewa, resi, pitra, manusa, bhuta.

Karena seluruh pertanggung-jawaban seorang sulinggih adalah ke alam niskala atau ke alam tak nyata. Siapakah sebenarnya yang mengabsahkannya? Disini akan kelihatan pada puncak dari resi yadnya padiksan adalah dalam acara seda raga (mati raga). Apakah mati raga karena kekuatan alam, atau mati raga karena kekuatan guru napak, atau mati raga hanya seremonial belaka untuk meneruskan siwapakarana leluhur yang telah ada sebelumnya di griya (rumah pendeta)

Mati Raga karena kekuatan alam, roh calon pendeta itu akan dijemput oleh guru niskala (guru pembimbing tak nyata) di daerah Pura Dalem diajak berjalan kearah kelod kauh (baratdaya) atau arah kematian, disana beliau akan melihat atma (roh) yang sedang menjalani hukuman akibat dosa yang telah diperbuat di dunia nyata, misalnya: Buta Mracu akan menghukum roh para ibu yang dengan sengaja tidak mau menyusui bayinya tampak sang ibu disusui oleh ulat, roh yang suka mengganggu istri orang lain yang telah bersuami akan mendapatkan hukuman pembakaran kelamin oleh Buta Jengitan dan sebagainya. Batas antara walaka (orang biasa) dengan sulinggih (pendeta) akan dibatasi oleh kawah mendidih dengan titi ugal-agilnya sesuai dengan gambar dilangit-langit Bale Kambang di Kertagosa, Klungkung (Warsika, 1986:17). Setelah roh calon pendeta itu kembali ke badan raga baru dinamakan dwi jati (lahir dua kali, tahu sekala niskala) Dengan perkataan lain roh calon pendeta mengalami pergi ke neraka dan melihat hasil perbuatan para atma (roh) setelah kematian. Hari wisuda alam niskala pada hari Siwa Ratri, tilem ka pitu dengan turunnya weda Bhatara Siwa (Pura Dalem) yang diucapkan oleh calon pendeta dan dibimbing guru niskala bliau. Pada saat itu puja-puji akan diucapkan secara otomatis, dimana sebelumnya beliau tidak pernah belajar pada seorang guru maupun menghafalkan mantram atau puja-puji.

Sedangkan Mati Raga karena kekuatan guru napak (pendeta pembimbing nyata) adalah mati raga atas kekuatan atau kemauan dari guru napak disuruh menari pun misalnya calon pendeta itu akan menari, disuruh tidur calon pendeta itu akan tidur, sesuai keinginan dari guru napak. Semacam terhipnotis, adalah suatu tehnik yang digunakan untuk memasuki alam bawah sadar manusia secara cepat dengan kekuatan magis yang dapat membuat orang lain tunduk dan tertidur, dilakukan berbagai cara, misalnya; dengan pendulum, tatapan mata, tehnik nafas, verbal/mantram, atau sentuhan pada bagian tubuh tertentu.

Kerauhan haruslah melalui beberapa proses berjenjang sebelum sampai pada kerauhan dewa. Konsep ini dianalogikan dengan proses belajar mengajar pada sebuah akademik, mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, sampai perguruan tinggi, dan selanjutnya. Seseorang yang memulai dengan pencaharian jati diri dengan keyakinan kedatangan roh (kekuatan lain), baik roh: batu, tumbuh-tumbuhan, bebai, bebutan, para rencang, para kanggo, manusa, pitra, dewa pitara, dewa, Hyang Widhi. Dalam penerapan kehidupan sehari-hari menjadi pedasar, matetamban, jero mangku, jero gede/ida bhawati, wiku ngeraga, wiku ngalokapalasrya, wiku acharya, dan selanjutnya Yang membedakan hanya pertanggung-jawabannya saja, kalau mengikuti jenjang akademik pertanggung-jawabannya ke dosen (manusia), sedangkan sulinggih (pendeta) pertanggung-jawabannya ke alam tak nyata/Tuhan. Hari kelulusan (wisuda) calon diksita di alam niskala adalah hari siwaratri, yaitu tilem ke tujuh dengan turunnya weda dewa Siwa (Bhatara Dalem).

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana bagi seseorang yang tidak mendapat ‘perintah’ dari leluhur-Nya untuk menjadi seorang pendeta atau dengan perkataan lain atas kemauannya sendiri ingin menjadi sulinggih (pendeta). Calon pendeta (diksita) itu semestinya wajib di-wanaprasta-kan atau diungsikan ke enam tempat yang menunjang kehidupan dunia ini antara lain; laut, gunung, hutan, danau, sungai, dan tempat guru napak dalam proses menempa mental spiritual seseorang untuk melepaskan sedikit demi sedikit keterikatan nafsu duniawi (Perjalanan spiritual alm.Ida Pandita Dukuh Dhaksa Dharma Yoga, Padukuhan Karang Buncing, Carangsari).

dikutip oleh : pesemeton sri karang buncing

MAKNA GALUNGAN

Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan.

Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis. Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali.

Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti. Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi.

Dalam lontar itu disebutkan: Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.

Artinya:

Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka. Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek. Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun.

Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau "bisikan religius" dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa.

Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).

Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya.

Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.

Dikutip : Paresemeton IA & IB Facebook Group