Powered By Blogger

Jumat, 11 November 2011

Pengendalian Diri, Etika dan Toleransi

Om Swastyastu
isa vasyam idam sarvam
yat kim ca jagatyam jagat
tena tyaktena bhunjita ma
grdhah kasya svid dhanam

Yajurveda XL.1
(Segala sesuatu yang bergerak dan tidak bergera di alam semesta ini meliputi  dan diresapi oleh Tuhan Yang Maha Esa. hendaknya seseorang mampu mengendalaikan dirinnya dan tidak menginginkan milik orang lain)

1. Pendahuluan
Pengendalian diri, etika dan toleransi merupakan pencerminan kehidupan beragama dengan kehidupan sesama baik manusia dalam lingkungan keluarga, masyarkat,  bangsa dan negara bahkan pula dalam hubungan international keluarga, masyarakat,  bangsa dan negara bahkan pula dalam hubungan international antar bangsa-bangsa.
Dengan pengendalian diri seseorang mampu hidup berdampingan secara rukun yang  tercermin dalam etika atau tata laku sopan santun dalam pergaulan hidup. Kerukuan  hidup akan semakin mantap bila dilandasi dengan toleransi atau penghargaan  terhadap perbedaan yang dihadapi, karena perbedaan itu seperti misalnya perbedaan  agama yang dianut merupakan kenyataan yang diyakini dan ajaran yang dikandungnya  diamalkan oleh pemeluknya.
Dengan pengendalian diri yang mantap, seseorang  yang tertib dalam berlalu lintas akan berhasil mencapai tujuan dengan selamat,  demikian pula dengan etika dan toleransi, seseorang akan mudah bergaul dengan  sesamanya walaupun berbeda agamanya, pandangan hidup akan dapat diwujudkan dan dengan  keharmonisan  ini ketentraman dan kebahagiaan hidup, baik dalam keluarga maupun masyarakat  dapat terealisasikan.
Agama Hindu dengan kandungan ajaran tentang pengendalian diri, etika toleransi  yang sangat berguna sebagai pedoman dalam membina hubungan yang harmonis tidak  hanya dengan sesama manusia, tetapi juga dengan Tuhan Yang Mahaesa dan semua  Makhluk ciptaan-Nya.
2. Pengendalian diri
Pengendalian diri adalah kemampuan seseorang untuk tidak melakukan yang tidak  baik dan tidak patut dilakukan. Untuk dapat mengendalikan diri, seseorang  hendaknya mengenal ajaran tentang Viveka atau Vivekajnana. Yang dimaksud dengan  Viveka adalah kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk, salah dan benar.
Yang baik belum tentu benar, sebaiknua yang benar belum tentu baik dan selanjutnya  yang dengan pengetahuan Viveka ini seseorang akan dapat mengendalikan dirinya,  sebab diantara berbagai makhluk hidup dengan tegas dinyatakan hanya manusialah  yang memiliki pengetahuan itu sebab, oleh karena itu menjelma sebagai manusia  disebut sebagai penjelmaan utama bila dibandingkan dengan makhluk lainya :
Manusah sarve bhutesu varttate
vai dubhasubhe asubhesu samavistam
subhesvevakarayet

Ri sakwehning sarva bhuta,  iking wwang juga wenangguma ikang sebha asubha  karma,  kunang panentasekena ring asubhakarma juga ikang subha karma, phala  ning dadi wwang
Sarasamnuccaya 2
(Di antara semua makhluk, yang hanya dilahirkan sebagai manusia sajalah yang  dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk. Leburlah ke dalam perbuatan  baik itu menjelma sebagai manusia.)
Di dalam kitab Sarasamuccaya dijelaskan pula bahwa menjelma sebagai manusia  adalah kesempatan yang utama dan sangat sulit untuk diperoleh (parama durlabha)  dan hidup sebagai manusia dinyakan sangat singkat (ksanikasvabhava) bagaikan  kerdipan kilat.
Memang bila direanungka, seseungguhnya manusia hampir sangat  jarang untuk merenungkan kembali, untuk apa tujuan penjelmaan kita ini, bagaimana  kita seharusnya berbuat di dunia ini, benarkah kita nanti, apakah yang akan  kita bahwa dan bagaimanakah kita alam sana dan lain-lain pernyataan akan muncul  bagi mereka yang memiliki kepekaan untuk merenungkan kehidupan kembali.
Untuk usaha, ajaran agama Hindu memberikan bimbingan dan tuntunan seseorang berhasil meniti kehidupan di dunia ini termasuk bagaimana dia berperilaku menyingkapi dan mensiasati kehidupan yang dewasa ini sangat dirasakan kecendrungan pada material atau pleasure oriented sebagai dinyatakan dalam kitab-kitab  Purana, bahwa era jaman Kali (Kaliyuga) orientasi manusia hanyalah pada materi  dan kesenangan, yang tidak akan memberikan kebahagiaan yang sejati.
Bila kita  hanya mengejar kepuasan materi atau kesenangan duniawi belaka (kepuasan kama),  maka penderitaanlah yang akan kita jumpai. Memuaskan Kama semata diibaratkan  menyiram api yang sedang berkobar tidak dengan air, melainkan dengan bensin  dan akibatnya adalah api semakin membesar yang mengakibatkan kehancuran. Agama  Hindu mengamanatkan untuk mewujudkan kedamaian dalam kehidupan ini (peace  oriented), karena di balik kedamaian yang sejati (true happines).
Kebahagiaan  yang sejati (Moksa) bukanlah  khayalan, melainkan kenyataan yang dapat dieujudkan  di dunia ini (melalui Samadhi) yang disebut dengan Jiwanmukti. untuk merealisasikan  dal ini banyak hal yang dilakukanm, terutama dapat mentransformasikan diri  kita, meninggalkan kualitas jasmani kita yang muaranya adalah sumber daya  manusia.
Sumber daya manusia (menurut pandangan Hindu ) tidak hanya menekankan  pada kualitas jasmani dan keterampilan atau kecerdasan pikiran, melaikan adalah  memupuk budi luhur sesuai dengan ajaran Dharma, yang nantinya akan mampu mengantisipasi  berbagai tantangan hidup dan mencapai tujuan yang tertinggi yakni bersatunya  Atman dengan Brahman yang disebut Moksa yang merupakan kebahagiaan sejati  dan abadi (Sukha dan tanpawali sukha) Sangat banyak kita jumpai ajaran agam Hindu penujuk tentang pengendalian  diri termasuk pula bagaimana menggunakan Viveka sehgingga kita mampu menyingkapi perkembanyan dunia ini.
Ajaran tentang pengendalian diri dan Viveka ini dapat  kita jumpai dalam kitab suci Veda, dalam berbagai kitab Upanisad, Ithiasa  dan Purana termasuk pula dalam berbagai kitab Dharmasastra dan Tantra seperti  Panca Tan Matra yang disusun oleh Visnu dan lain-lain.
3. Etika
Etika adalah bentuk pengendalian diri di dalam pergaulan hidup bersama.  Manusia adalah homo sosius, makhluk berteman. Ia tidak dapat hidup sendirian,  ia selalu bersama dengan orang lain. Manusia hanya dapat hidup dengan sebaik-baiknya  dan akan mempunyai arti, apabila ia hidup bersama-sama manusia yang lain di  dalam masyarakat. Tidak bergaul dengan sesama manusia lainya. Hanya dalam  hidup bersama manusia akan dapat berkembangan dengan wajar.
Hal ini merupakan  kenyataan yang tidak dapat dihindari, bahwa sejak manusia dilahirkan sampai  ia mati, selalu memerlukan bantuan orang lain untuk kesempurnaan hidupnya.  Bantuan itu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya, tetapi juga untuk  memenuhi kebutuhan rohaninya.
Manusia sangat memerlukan pengertian, kasih sayang , harga diri, pengakuan  dan tanggapan-tanggapan emosional yang sangat penting artinya bagi pergaulan  dan kelangsungan hidupnya yang sehat. Semua kebutuhannya itu merupakan kebutuhan  rohani hanya dapat ia perolah dalam hubungannya dengan manusia dalam masyarakat,  Inilah kodrat manusia sebagai makhluk sosial tidak ada seorangpun yang dapat  mengingkari hal ini karena bahwa manusia baru dapat disebut manusia dalam  hubungannya dengan orang lain dan bukan dalam kesendiriannya.
Dalam kehidupan bersama ini orang dapat mengatur untuk bertingkah laku yang  baik. Tidak seseorang yang boleh berbuat sekehendak hatinya. Ia harus menyesuaikan  diri dengan lingkungannya (dalam pengertian tidak boleh larut dalam lingkungannya  itu) dan tunduk atau patuh terhadap peraturan atau aturan yang berlaku dalam lingkunyanya ini masih dalam frame-frame yang berlaku.
Aturan atau peraturan untuk bertingkah laku yang baik dalam agama Hindu  disebut dengan “Sila” yang dalam bahasa Indonesia menjadi Tata Susila.  Nama lainya untuk istilah ini adalah Etika. Kata etiket artinya sopan santun  dalam pergaulan. Bila itikad beretika masih dalam angan-angan disebut dengan  Budi Luhur (Budi baik) dan bila diwujudkan dalam tungkah laku disebut pekerti  yang baik.
Bila kita mengamati dengan seksama tujuan dari atau tingkah laku yang baik  adalah untuk membina hubungan yang harmonis antar sesama manusia dan dalam  ajaran agama Hindu tidak hanya hubungan yang horisontal, tetapi juga vertical  hubungn antara manusia dengan Tuhan Yang Mahesa dan alam pencipta-Nya. Tata  susila dalam ajaran agama Hindu merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar  agama Hindu disamping Sradha dan Acara yang bersumber pada kitab suci Veda,  oleh karena itu tata Veda dengan susastra Hindu lainya.
Dalam hubungannya  dengan tingkah laku manusia, dapat dikaji dalam tiga tingkatan yaitu :
  • Tingkat pertama semasih dalam bentuk angan-angan niat atau idea
  • Tingkat kedua sesudah berbentuk pekerti, yakni perbuatan nya (telah dilaksankan)
  • Tingkat ketiga adalah akibat yang ditimbulkan oleh pekeri ini . Hasilnya  dapat baik atau buruk.
Selanjutnya isi dari angan-angan, niat atau idea itu direalisasikan dalam  4 jenis perbuatan (varaible), yaitu :
a. Tujuannya baik, tetapi cara penyampaianya tidak baik.
b. Tujuannya tidak baik, tetapi cara penyampainya baik
c. Tujuannya tidak baik, tetapi cara penyampainya tidak baik.
d. Tujuannya baik, tetapi cara penyampainya baik.
Semuanya yang disebut atau buruk kadang-kadang sulit untuk dirumuskan dalam kenyataannya ternyata manusia sesungguhnya mengerti atau memahami apa yang  disebut baik dan buruk. Berbohong atau mencuri adalah buruk dan tidak benar.  menolong, penuh kasih dan jujur adalah baik. Kesadaran terhadap baik dan buruk,  salah dan benar disebut Kesadaran Etis.
Namun perlu dipahami apa yang disebut  baik itu, tidak selalu benar dan apa yang disebut buruk itu tidaklah selalu  salah. Untuk menentukan mengukur atau membesakan baik, buruk salah dan benar,  agama Hindu mengajarkan umatnya untuk berpedoman kepada beberapa pramana atau  ukuran , antara lain :
  • Desa (tempat), Kala(waktu) dan Patra (keadaan) dan dalam Manavadharmasastra dilengkapi dengan Iccha (tujuan) dan Sakti (Kemampuan untuk mencapai tujuan  itu).
  • Pratyaksa (pengamatan), Anumana (analisa) dan Agama (pertimbangan / Informasi yang dapat dipercaya)
  • Sastratah (bersumber pada sastra/ajaran agama) Gurutah (bersumber pada  ajaran guru) dan Svatah (bersumber pada analisa dan pengalaman sendiri)
Berdasarkan ukuran atau pertimbangan tersebut seseorang dapat menentukan  perbuatan yang patut dan baik untuk dilaksanakan. Untuk dapat menentukan perbuatan  itu, seseorang hendaknya mengetahui dan dapat memilih dan untuk itu berbagai pertimbangan sangat diperlukan. Kemampuan untukl mengetahui (Maknanya) dan  memilih ( yang patut dan baik dilakukan ) merupakan pegangan moralitas.
Penilaian moralitas tidaklah dapat diukur dari penampilan luar seseorang  demikian pula dalam kitan bertingkah laku yan baik dan benar. Untuk itu ajaranya  agama Hindu menuntut kepada umatnya untuk memiliki kepekaan sehingga mampu  mendengarkan bisikan Sang Hyang Widi Atma yang bersemayan pada hati setiap  orang. Bisikan sang Hyang Atma adalah bisikan hati nurani yang selalu jujur.  Nilai pribadi seseorang tidak dapat diukur dengan kekayaan yang dimiliki,  kepandaian, kecerdasan atau kebangsawanan yang dimiliki. Perhatikanlah terjemahan  sloka Sarasamuccaya berikut :
Meski ia Brahmana yang berusia lanjut, Jika perilakunya tidak susila, tidaklah patut disegani. Walaupun ia seorangn Sudra, jika perilakunya berpegang pada  Dharma dan kesucian patutlah ia dihormati dan disegani (161)
Tingkah laku yang baik merupakan alat untuk menjaga Dharma dan satra suci. Pikiran yang teguh dan bulat merupakan upaya untuk menjunjungnya, adapaun  keindahan paras adalah keberhasilan pemeliharaannya demikian pula kelahiran  seseorang, semuanya budi pekerti susila yang menegakkannya (162).
Tingkah laku yang baik merupakan sebab dikenal sujana, demikian walaupun ia  tidak memiliki silsilah dari orang-orang, asalkan ia berasusila, akan diketahui  pula asal -usulnya (163)
Pengetahuan tenang kitab suci Veda (Catur Veda) dengan enam cabang dan anak cabangnya, kemahiran tentang ajaran filsafat (sastra suci) Samkhya, Purana  dan kelahiran.yang mulia, semuanya itu tidak akan berpahala bagi orang yang  berkelakuan jahat , Akhirnya semua pengetahuan dan kelahiran yang dimilikinya  tidak ada artinya (164)
Lagi pula tidak kuasa kaum kerabat dan sanak keluraga memberikan pertolongan, membebaskan diri dari kesedihan hati, begitupun emas segala hak milik Kebangsawanan,  sastra dan mantra-mantra serta kekuasaan tidak akan dapat memberi pertolongan, tang dapat menolong hanyalah tingkah laku, oleh karena itu ia sungguh yang  dapat melenyakan kedudukan hati didunia yang lain kelak dikemudian hari (167).
Didalam agam Hindu kita jumpai banyak ajaran yang menuntun manusia untuk  menjadi manusia yang sujana, berbudi luhur dan bertingkah laku yang bersusila,  tidak bertentangan dengan moral dan ajaran Dharma.

4. Toleransi

Toleransi artinya penghargaan, yakni memberikan penghargaan terhadap orang  lain dalam hal ini yang paling menonjol adalah penghargaan terhadap ajaran  agama yang dianut oleh orang lain.
Sesungguhnya toleransi tidak hanya berkaitan  dengan penganut agama yang lain tetapi juga perlu ditumbuhkan dalam kaitannya  dengan kehidupan intern umat beragama, maksudnya bila terdapat perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama dalam intern umat seagama, maka penghargaan atau toleransi perlu ditumbuhkembangkan, demikian pula dengan umat yang lain (antar umat  beragama) dan antara umat beragama dengan pemerintah.
Kitab suci Veda menegaskan  perlunya toleransi itu sebagai perwujudan pengamalan ajaran agama :
  • Bumi ini tempat tinggal seluruh umat manusia, seperi keluarga, semuanya berbicara berbeda-beda dan menganut kepercayaan (agama) yang berbeda-beda,  semuanya hendaknya seperti sapi-sapi yang bersatu salam satu kandang sapi  kepadanya kesejahteraan akan berlimpah (Atharvaveda XII.I.45)
  • Bumi yang luas ini adalah ibu dan sahabat kita (Atharvaveda IX,10,12)
  • Marilah kita menghormati kemerdekaan (harkat dan martabat) seseorang (Rg  veda I.80.1)
  • Wahai umat manusia, Aku memberikan kepadamu sifat-sifat yang ramah dan  manis pupuklah keharmonisan dan persaudaraan tanpa permusuhan diantara kamu,  seperti halnya seekor induk lembu terhadap anaknya yang baru lahir, demikianlah  hendanya kamu menyayangi sesamamu (Atharvaveda III.83.8.)
  • Wahai orang-orang dermawan, marilah kita wujudkan persaudaraan yang sederajat  di dalam kandungan ibu pertiwi (Rg Veda VIII.83.8).
  • Wahai umat manusia, maju teruslah kamu, jangan bertikai di antara kamu,  engkau adalah pengikut untuk tujuan yang sama, hormatilah yang lebih tua,  milikilah pikiran-pikiran luhur dan pusatkan perhatian pada kerja. Ucapkanlah  kata-kata manis di antara kamu. Aku jadikan engkau semuanya bersatu dan Aku  rakhmati engkau dengan pikiran-pikiran yang mulia (Atharvaveda III.10.5)
Lebih jauh dalam susatra Veda yang lain dinyatakan :
  • Hendaknya setiap orang tidak menyakliti makhluk lain, berpegang pada kebernan (Dharma), tidak pemarah, melepaskan diri dari ikatan keduniawian, tentram  dan tidak suka memfitnah, kasih sayang terhadap semua makhluk, tidak tamak,  lemah lembut sopan santun dan teguh iman (Bhagawadgita, XVI.2.)
  • Persembahan kepada dewa-dewa, kepada pandita, kepada guru, kepada orang  suci, jujur, kuat menahan hawa nafsu dan tidak menyakiti makhluk lain adalah  pantangan diri sendiri di dunia (Bhagavadgita XVII.14.)
  • Seseorang yang tidak menjalankan Dharma atau yang mendapatkan kakayaan  dengan jalan curang dan orang yang suka menyakiti hati makhluk lain tidak  akan pernah bahagia di dunia ini (Manavadharmasstra IV.170.)
Masih banyak ajaran toleransi yang dapat kita jumpai dalam kitab Veda dan susastra Hindu lainya yang perlu kita gali dan diamalakan dalam kehidupan  bersama dalam masyarakat berbhineka ini.
5. Upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Mampukah ajaran agama, khususnya ajaran pengendalian, etika dan toleransi  dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia ? Untuk menjawab permasalahan  ini kita hendaknya dapat memahami kembali fungsi dan peranan agama kehidupan  umat manusia, yaitu sebagai :
  • Faktor motivatif yang mendorong manusia meningkatkan kualitas hidupnya  .
  • Faktornya kreatif dan innovatif, yang mendorong untuk berkreasi dan mengadakan pembharuan dalam dirinya.
  • Faktor insfiritif yang memberikan inspirasi untuk mengabdi kemanusiaan.
  • Faktor edukatif yang mendidik diri manusia untuk mencapai kedewasaan.
  • Faktor transformatif dan sublimatif yang mampu mengubah dirinya yang tidak  baik menjadi baik.
Bila fungsi agama dilaksanakan atau memancar diri manusia, maka dengan sendirinya seseorang akan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia atau potensi-potensi yang dimilikinya. Agama tidak hanya mengajarkan manusia untuk mewujudkan kehidupan spiritual di alam baka saja, tatapi di tunut pula kepada umatnya untuk direalisasikan,  diamalkan dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Agama Hindu (Khususnya kitab suci Veda) sangat menekankan betapa pentingnya pemeliharaan badan jasmani ini seseorang sebab dengan jasmani sehat dan akan  lebih baik melaksanakan Dharma atau swadharma yang dibebankan kepadanya. Pemeliharaan jasmani dengan jalan berolah raga serta makan dan minum makanan dan minuman  yang nmenyehatkan, sedang pemeliharaan rohani dengan mengamalkan ajaran agama sebaik-baiknya.
Aritani me sarva atma anibhrstah
Atharvaveda XIX.60.2
(Hendaknya badan dan pikiran kami sehat, babas dari segala penyakit sehingga  selalu bangkit untuk meningkatkan diri)
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapatkah kita pahami bahwa jasmani sehat  dan pikiran yang sehat pula merupakanan modal dasar untuk meningkatkan kualitas  pribadi kita. Meningkatkan kualitas pribadi hendaknya senantiasa diupayakan  dan hal ini diamanatkan oleh kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya. Pengamalan  ajaran agama bermuara pada pengendalian diri, etika dan toleransi yang pada  akhirnya adalah meningkatkan mutu atau kualitas pribadi manusia.

6. Penutup

Pengendalian diri, etika dan toleransi merupakan cerminan atau pancaran  dari pengamalan ajaran agam Hindu. Agama tidak akan ada artinya bila tidak  diamalkan sebagai mana mestinya. Agama akan besifat verbal atau hanya berupa  slogan saja. Bila agama dilaksanakan dengan mantap maka tujuan hidup berupa  kesejahteraan dan kebahagiaan akan segera dapat diwujudkan.
Dalam kehidupan bersama dalam masyarakat maka pengendalian diri, etika dan toleransi hendaknya senantiasan ditumbuh kembangkan, dengan demikian keharmonisan sebagai landasan kehidupan yang sejahtera, tentram dan bahagia menjadi kenyataan.
Om Santih Santih Santih.

Sumber: http://www.hindu-dharma.org

Minggu, 06 November 2011

Tri Kaya Parisudha dalam Segala Aspek Kehidupan

Subha Asubha KarmaPada dasarnya sesuai dengan siklus “rwabhineda” perbuatan manusia dapat ditinjau dan dua sisi/dimensi yang berbeda, yaitu antara perbuatan yang baik (subha karma) dan perbuatan yang tidak baik/buruk (asubha karma). Perputaran/siklus subha dan aszibha karma ini selalu saling bertautan dan silih berganti satu sama lainnya dan tidak dapat dipisahkan.

Demikianlah sikap dan prilaku manusia selama hidupnya berada pada dua jalur yang berbeda itu, sehingga patut dengan kesadaran budhi nuraninya (manusia) harus dapat menggunakan kemampuan berpikirnya kearah yang lebih baik dan benar. Apabila manusia sebagai makhluk berpikir (punya manah) mau dan mampu mengarahkan pikirannya ke arah yang baik akan mengakibatkan ucapan dan perilakunya menjadi baik (subha karma).

Sebaliknya apabila tidak mampu mengarahkan pikiran (mengendalikannya) kearah yang baik, hal inilah mengakibatkan manusia berucap dan berbuat yang buruk (asubha karma)
Sebagai manusia dengan kekiiatan idep/manah ini harus dengan cermat dapat memilah dan memilih perbuatan baik sehingga tidak terjerembab dalam perbuatan buruk. Dalam Sarasamuscaya ditegaskan bahwa hakekat penjelmaan sebagai manusia adalah untuk rneningkatkan/menyempurnakan diri dari perbuatan buruk (asuba karma) menjadi perbuatan baik (subha karma).

“manusah sarwabhutesu, vartate vai subhasubhe
asubhesu samavistam, subhesveva văkărayet”
 (Sarasamuscaya, 2).

Artinya:
Di antara semua makhluk hidup hanya yang dilahirkan sebagai manusia sajalah yang dapat berbuat baik ataupun buruk, Leburlah ke dalam perbuatan baik segala perbuatan buruk itu; Demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia.
Apa yang diuraikan dan dijelaskan pada sloka tersebut di atas adalah tugas utama atau hakekat penjelmaan sebagai manusia, untuk melebur perbuatan buruk (asubha karma) menjadi perbuatan baik (subha karma).

Hanya dengan berbuat baiklah manusia menunjukkan eksistensinya sebagai makhluk yang utama, sebagaimana disuratkan dalam Sarasamuscaya 4 sebagai berikut:

Apan iking dadi wwang uttama juga ya,
nimittaning mangkana wenang ya
tumulung awaknya sakeng sangsara,
makasadhanang subha karma,
hinganing kottamaning dadi wwang ika

Maksudnya:
Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama, sebabnya demikian karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikianlah keutamaan/keuntungan dapat menjelma menjadi manusia.
Lantas bagaimana halnya bila seseorang tidak mau melaksanakan perbuatan baik? Orang yang demikian itu dianggap (bagaikan) orang sakit (penyakit) yang menjadi obat neraka loka dan apabila meninggal dunia, maka ia dianggap sebagai orang sakit yang pergi ke suatu tempat dimana tidak ada obat-obatan yang mengakibatkan selalu dalam penderitaan yang membara.
Oleh karena itu usahakanlah selalu secepatnya berbuat yang baik (subha karma).

Tri Kaya Parisudha
Tri Kaya Parisudha yang menjadi konsentrasi pembahasan kali ini adalah merupakan salah satu aplikasi dan perbuatan baik (subha karma). Secara etimologi Tri Kaya Parisudha (bahasa Sanskerta) dari kata Tri berarti tiga, Kaya berarti perbuatan/prilaku dan Parisudha berarti (amat) disucikan. Adapun rinciannya (Tri Kaya Parisudha) terdiri dari:

a. Manacika, yaitu berpikir yang bersih dan suci.
b. Wacika, yaitu berkata yang baik, sopan dan benar
c. Kayika, yaitu berbuat yang jujur, baik dan benar.

Secara hirarki bermula dan pikiran yang baik dan benarlah akan mengalir ucapan dan perbuatan yang baik dan benar pula. Jadi kuncinya adalah pada pikiran, yang dalam pepatah sama dengan “dan telaga yang jernihlah mengalir air yang jernih pula”. Kalau pikirannya kacau, apalagi memikirkan yang macam-macam dan bukan-bukan niscaya perkataan dan perbuatannyapun akan amburadul yang bermuara pada kehancuran dan penderitaan.
Dari Tri Kaya Parisudha ini timbul adanya sepuluh pengendalian diri yang disebut karmapatha, sesuai dengan apa yang tesurat dan tersirat dalam Sarasamuscaya, 73 sebagai berikut:
“Hana karmapatha ngaranya, khrtaning indrya,
sapuluh kwehnya, ulakêna, kramanya : prawerttiyaning manah sakarêng,
têlu kwehnya, ulahaning wâk pât pwarttiyaning kâya, tělu pinda sapuluh,
prawerttyaning kaya, wak, manah ken geta”.

Maksudnya:
Adalah karma patha namanya, yaitu pengendalian hawa nafsu, sepuluh banyaknya yang patut dilaksanakan; gerak pikiran tiga banyaknya, ucapan/perkataan empat (4) jumlahnya, gerak tindakan/laksana tiga (3) banyaknya. Jadi sepuluh (10) jumlahnya perbuatan yang timbul dari gerakan badan, perkataan, dan pikiran itulah patut diperhatikan.

Lebih lanjut diuraikan Tri Kaya Parisudha itu sebagai berikut:
1. Manacika (pikiran yang bersih dan suci) antara lain:
 tidak ingin dan dengki pada milik orang lain (si tan engin adengkya ri drbyaning len)
 tidak bersikap gemas (marah), kasar kepada semua makhluk (si tan krodha ring sarwa sattwa).
 percaya akan kebenaran ajaran karmaphala (si mamituha ni hananing karmaphala).
2. Wacika (ucapan/perkataan yang baik, jujur dan benar) antara lain, hindarilah:
- Perkataan jahat, menyakitkan, kotor (ujar ahala).
- Perkataan keras, menghardik, kasar (ujar aprgas)
- Perkataan memfitnah (ujar pisuna)
- Perkataan bohong (ujar mithya)
3. Kayika (perbuatan bait, jujur dan  benar) yaitu:
- Tidak menyiksa dan membunuh (syamati-mati)
- Tidak mencuri (mangahalalhalal)
- Tidak berbuat zina (si paradara).
Ketiga prihal tersebut di atas hendaknya jangan dilakukan baik dalam bersenda gurau, berolok-olok, keadaan darurat maupun dalam keadaan dirundung malang sekalipun. Dalam sloka 77 dipertegas bahwa ketiga hal itu (berpikir, berkata, dan berbuat) membuat orang dikenal dan akan sangat menarik perhatian orang untuk mengetahui kepribadian seseorang. Oleh karena itu hendaklah yang baik itu selalu dibiasakan dalam laksana, perkataan dan pikiran. Dari ketiga kaya (prilaku) baik dan benar tersebut di atas yang menjadi fokus pembahasan kita kali ini adalah wacika (ucapan) berikut sumber/alat yang mengucapkan.

Fungsi Mulut/Ucapan dalam Segala Aspek Kehidupan
Terkait dengan mulut terdapat beberapa ungkápan “miring” seperti “Besar mulut”. “Keluar dari mulut harimau masuk ke dalam mulut singa”. Pada mulut kita terdapat komponen yang sangat menentukan ucapan/kata-kata yakni lidah. Dalam panca budhindrya disebut “Jihvendrya” yang mempunyai fungsi ganda yaitu di satu sisi lidah sebagai indra pengecap dan di sisi lain lidah (mulut) berfungsi mengeluarkan kata-kata / ucapan.

Dalam kehidupan sehari-hari tanpa mulut orang tidak dapat makan dan minum secara kodrati/alami. Bila tidak makan dan minum mungkinkah orang dapat hidup? Walaupun dalam dunia kedokteran dikenal alat/sarana berupa infus, karena sebagai sarana fungsinya hanyalah membantu yang sifatnya sementara waktu saja. Di samping itu apa jadinya dan bagaimana rupa orang tanpa mulut?
Selanjutnya manusia disamping sebagai makhluk individu, juga sebagai makhluk sosial, yang selalu berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain, sehubungan dengan berkomunikasi inilah peranan dan fungsi mulut/ucapan memegang peranan yang amat penting. Dalam segala aspek kehidupan baik menyangkut bidang ekonomi, sosial, budaya, agama, politik maupun pertahanan dan keamanan.

Mari kita cermati contoh-contoh nyata ke semua aspek tersebut di atas secara sederhana saja.
 Dalam bidang ekonomi betapa pentingnya negosiasi-negosiasi dalam ucapan atau pembahasan dialog-dialog yang memecahkan permasalahan ekonomi. Bahkan dalam hal yang sangat sederhana, walaupun kita, membawa uang atau punya uang tanpa kita ngomong/berucap “saya mau beli sesuatu? Apakah kita diberikan sesuatu itu oleh penjualnya?
 Dalam bidang sosial kemasyarakatan tentunya lebih penting lagi peranan mulut/ucapan itu. Orang bersengketa/berselisih bisa didamaikan dengan berdialog yang tentunya dilandasi dengan hati dingin dengan semangat kebersamaan dan kekeluargaan (paras-paros, asah-asih-asuh, selunglung sabayantaka).
 Dalam budaya peranan ucapan sangat penting lebih-lebih menyang ku seni dan sastra dan bahasa. Dengan kekuatan seni sastra dan budaya akan mampu membuat seseorang terinspirasi, termotivasi serta tunduk dengan penintah seseorang.

Bung Karno dengan kemampuan oratornya bisa membangkitkan semangat bangsa Indonesia. Para Maha Rsi dengan sutra-sutranya dan ucapan/warah-warahnya menyebabkan para sisya-nya tunduk dan bhakti serta melaksanakan segala perintah/ajarannya. Hal tersebut di atas (ajaran para Rsi) jelas sebagai sumber ajaran agama yang sangat penting dalam menuntun dan mengarahkan hidup dan kehidupan ini.

Dalam dunia politik termasuk keamanan dan pertahanan sangat dominan dialog-dialog itu dilaksanakan dalam memecahkan segala persoalan. Sehingga nyambung dengan pepatah “Bulatnya air dalam pembuluh, bulatnya kata dalam mufakat”. Disini perlu adanya musyawarah dalam mencapai kata mufakat. Dalam musyawarah perlu adanya keluwesan, saling mengalah dan tidak bersikukuh pada ego masing-masing (jaja uli jaja gina satuh-satuh).
Satu hal yang perlu diperhatikan dan diingat bahwasanya sesuai dengan sirkulasi rwabhineda mulut/ucapan itu disamping menyebabkan kebaikan (kerahayuan) bisa jadi mengakibatkan keburukan/bencana (malapetaka). Hal ini disuratkan dalam kakawin Nitisastra V.3, sebagai berikut:
Wasita minittanta manêmu laksmi
Wasita minittanta pati kapangguh
Wasita minittanta manému dukha
Wasita minittanta menemu mitra.
Maksudnya :
Oleh perbuatan/ucapan engkau akan mendapatkan bahagia, oleh perkataan/ucapan engkau mendapatkan kematian/kehancuran, oleh perkataan/ucapan engkau mendapatkan kesusahan/kesedihan, oleh perkataan/ucapan engkau mendapatkan sahabat/kawan.

Dan penjelasan isi kakawin tersebut di atas dengan gamblang kita dapat menyimak akibat baik buruk dan ucapan/perkataan itu sendiri. Oleh karena itu Sri Wiwikananda pernah berkata : “Bila kita bercermin kita melihat gambaran/bayangan wajah kita bermata dua, telinga juga dua, lubang hidung juga dua, akan tetapi mulut cuma satu saja! Apa makna dibalik hal tersebut?
Bukanlah yang dimaksudkan bahwa, kita boleh banyak melihat, banyak mendengar termasuk banyak mencium atau menikmati sesuatu, akan tetapi harus berhati-hati dalam berucap. Sebab salah ucap akan berdampak kehancuran atau mala petaka.

Siapapun salah menyampaikan sesuatu lebih-lebih terhadap ajaran termasuk mata pelajaran/bidang studi akan berakibat fatal bagi siswa yang menerimanya.

Demikian sebaliknya barang siapa dapat mengajarkan atau memberikan tuntunan yang baik niscaya akan dapat mengangkat kualitas dan martabat seseorang yang ditandai dengan sikap dan perilakunya di masyarakat.

Orang akan selalu melihat dan menilai seseorang dan sikap dan perilakunya yang tentunya diwarnai serta dilandasi oleh pola pikir dan ucapannya (“gajah mati meninggalkan gadinnya, harimau mati meninggalkan belangnya “).

Oleh karena itu marilah kita bersama-sama berusaha dengan sepenuh hati (nekeng tuas) untuk mengontrol pikiran (manah), agar mengikuti kesadaran budhi (mahat) sehingga akan mengalir menjadi ucapan yang baik dan benar, serta merta diaplikasi/diwujud nyatakan dalam perbuatan (laksana) yang tentunya akan bermanfaat baik bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat bangsa dan negara.
warah-warahnya menyebabkan para sisya-nya tunduk dan bhakti serta melaksanakan segala perintah/ ajarannya. Hal tersebut di atas (ajaran para Rsi) jelas sebagai sumber ajaran agama yang sangat penting dalam menuntun dan mengarahkan hidup dan kehidupan ini.
Dalam dunia politik termasuk keamanan dan pertahanan sangat dominan dialog-dialog itu dilaksanakan dalam memecahkan segala persoalan. Sehingga nyambung dengan pepatah “Bulatnya air dalam pembuluh, bulatnya kata dalam mufakat”. Disini perlu adanya musyawarah dalam mencapai kata mufakat. Dalam musyawarah perlu adanya keluwesan, saling mengalah dan tidak bersikukuh pada ego masing-masing (jaja uli jaja gina satuh-satuh).
Satu hal yang perlu diperhatikan dan diingat bahwasanya sesuai dengan sirkulasi rwabhineda mulut/ucapan itu disamping menyebabkan kebaikan (keraha yuan) bisa jadi mengakibatkan keburukan /bencana (malapetaka). Hal ini disuratkan dalam kakawin Nitisastra V.3, sebagai berikut:
Wasita minittanta manêmu laksmi
Wasita minittanta pati kapangguh
Wasita minittanta manému dukha
Wasita minittanta menemu mitra.
Maksudnya :
Oleh perbuatan/ucapan engkau akan mendapatkan bahagia, oleh perkataan/ucapan engkau menda patkan kematian/kehancuran, oleh perkataan/ucapan engkau mendapatkan kesusahan/kesedihan, oleh perkataan/ucapan engkau mendapatkan sahabat/ kawan.
Dari penjelasan isi kakawin tersebut di atas dengan gamblang kita dapat menyimak akibat baik buruk dan ucapan/perkataan itu sendiri. Oleh karena itu Sri Wiwikananda pernah berkata : “Bila kita bercermin kita melihat gambaran/bayangan wajah kita bermata dua, telinga juga dua, lubang hidung juga dua, akan tetapi mulut cuma satu saja! Apa makna dibalik hal tersebut?
Bukanlah yang dimaksudkan bahwa, kita boleh banyak melihat, banyak mendengar termasuk banyak mencium atau menikmati sesuatu, akan tetapi harus berhati-hati dalam berucap. Sebab salah ucap akan berdampak kehancuran atau mala petaka.

Siapapun salah menyampaikan sesuatu lebih-lebih terhadap ajaran termasuk mata pelajaran/bidang studi akan berakibat fatal bagi siswa yang menerimanya.

Demikian sebaliknya barang siapa dapat mengajarkan atau memberikan tuntunan yang baik niscaya akan dapat mengangkat kualitas dan martabat seseorang yang ditandai dengan sikap dan perilakunya di masyarakat.

Orang akan selalu melihat dan menilai seseorang dan sikap dan perilakunya yang tentunya diwarnai serta dilandasi oleh pola pikir dan ucapannya (“gajah mati meninggalkan gadingnya, harimau mati meninggalkan belangnya “).

Oleh karena itu marilah kita bersama-sama berusaha dengan sepenuh hati (nekeng tuas) untuk mengontrol pikiran (manah), agar mengikuti kesadaran budhi (mahat) sehingga akan mengalir menjadi ucapan yang baik dan benar, serta merta diaplikasi/diwujudnyatakan dalam perbuatan (laksana) yang tentunya akan bermanfaat baik bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat bangsa dan negara.• WHD No. 475 Agustus 2006.

Sumber : http://www.parisada.org